Prolog

17 3 0
                                    

Segalanya terasa hambar. Kejahatan, kekerasan, makian, semua terputar layaknya film, hingga menjadi keseharian yang terkesan datar. Menemukan kebahagiaan, dalam semak berduri layaknya sekuntum mawar. Kenangan bahagia dalam memori, sudah berdebu dan samar.

Siapa sangka, duduk di lantai depan kedai cokelat, di bawah jendela dengan papan bertuliskan Close, di momen matahari menyudahi penampilannya, bisa sedamai ini. Kendaraan yang lalu-lalang berselang, melemparkan udara sejuk berbau knalpot, menerpa tubuh mungil yang duduk meringkuk seorang diri.

Harga diri Helia hanya terasa tak lebih dari seekor anak kucing yang dipungut dari tempat sampah. Dipekerjakan sang majikan menangkap tikus dengan duri ikan sebagai upah. Anak pungut, lidah orang-orang tak pernah berubah.

Empat belas tahun lalu, ia ditemukan sang Ibu yang sedang dalam perjalanan menuju pasar pagi di Hari Minggu. Ayam jantan baru berkokok, dan dari kaki tong sampah terdengar auman terompet pilu. Tak pernah terlintas di kepala, jika di kompleks yang damai bisa ditemukan sesosok bayi perempuan malang yang kulitnya masih kemerahan, di dalam kardus dekat tempat sampah yang kotor dan bau.

Sebab tak ada yang rela merawat bayi itu, tanggung jawab sepenuhnya dibebankan pada sang penemu. Sehingga dengan setengah hati iba dan sisanya terbebani, Ibu merawat bayi yang diberi nama Helia, mau tidak mau.

Tahu dari mana? Ibunya tentu tak mau repot-repot menutupi status anak pungutnya, selayaknya dalam drama anak angkat yang tidak menahu bahwa orang yang dia panggil ibu, ternyata tak memiliki hubungan darah.

Helia bosan.

Tak ada sesuatu dalam hidupnya yang membangkitkan motivasi untuk terus bertahan hidup. Bahkan suara seseorang yang menyebut namanya saat ini terdengar sayup.

"Woy, Helia! Kupingmu eror lagi, heh?!"

Barulah gadis itu mendongak, setelah mengenali suara yang sarat kekesalan itu. Suara yang yang seketika menendang rasa kantuk Helia jauh-jauh. Hanya dengan mengingat pemilik suara itulah, rasa waspada menyergapnya.

"Apa?" Helia memiringkan kepala, lantas bangkit menghadap laki-laki berhoodie hitam yang lebih tinggi darinya. "Nggak denger," tantang gadis itu.

Helia mengerutkan kening saat Eric, laki-laki itu, justru menyeringai mendengar nada mengejeknya. Jika biasanya cowok yang lebih tua tiga bulan darinya itu akan terpancing dan memainkan tangannya, maka gerakan di bibirnya itu menjadi hal mencurigakan untuk Helia.

"Oh ya?" Kini giliran Eric yang menelengkan kepala.

Pasti dia baru berulah.

"Kalau gitu, kamu mesti bisa denger omelan ibumu nanti, dong. Soalnya, suaranya pasti lebih keras," ujar Eric.

Nah, kan. Sialan bocah ember ini.

"Pengadu!" Kedua tangan Helia mengepal di sisi tubuhnya.

Eric tertawa penuh kemenangan. Anak itu pasti telah membocorkan aksinya menonjok ketua kelas tadi pagi, pada Ibu. Helia yakin, itu bentuk balas dendam padanya yang menyontek jawaban Eric saat ulangan matematika tadi. Dan untuk seragam cowok itu yang harus ternoda es krim. Baiklah, ini sepadan.

Tidak! Ini lebih kejam!

Helia menggertakkan giginya. Tawaran untuk memukul kepala Eric memang terdengar menggiurkan, tapi melakukannya sama saja memberi medali pada bocah sialan itu. Maka, menekan sejenak amarah yang meluap, lalu membalikkan boomerangnya, terdengar lebih aman. Dan seru.

Gadis itu menarik napas perlahan, dan membuangnya seraya menerbitkan senyum manis. Ia hanya ingin Eric melihat betapa Helia tak keberatan dengan aksi liciknya, bahkan terlihat senang.

"Oke. Makasih ya, udah kasih tau Ibu. Soalnya aku lupa bilang tadi." Helia terkekeh.

Detik itulah, alis di atas kedua mata Eric menukik tajam. Dan Helia bisa tersenyum puas, ketika kilatan amarah menghiasi mata Eric, yang menjadi pertanda umpannya berhasil.

"Kamu boleh senang dengan itu. Tapi jangan lupa, kamu belum bilang ke ibumu soal rencana yang kamu lakuin minggu lalu." Eric mengarahkan telunjuknya di antara kedua mata Helia.

Helia tercekat oleh kalimat Eric. Entah apa yang laki-laki itu maksud, tapi benak Helia tak bisa lebih yakin jika yang digaris bawahi mengacu pada pembunuhan. Maka, untuk menutupi kilat kecemasan dalam matanya, Helia menatap tajam mata Eric yang kini terlihat lebih sendu.

"Yang kamu maksud itu kita," tekan Helia.

Eric melempar pandangan ke samping, menghindari kontak mata dengan gadis yang menatapnya tajam. Dengusan lemah berhembus dari hidungnya.

"Tapi yang bikin Timmy mati bukan aku."

________________________

Menyentuh bintang di pojok kiri takkan membuatmu tenggelam di samudera, kok:)

Tenggelamkan EricTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang