Saat itu aku masih berusia 6 tahun, rumah bata masih dalam pembangunan. Bapakku seorang freelancer dan baru memiliki cukup uang untuk membangun rumah tersebut.
Rumah itu akan dibangun menjadi 4 lantai yang tak berurut. Dimana-mana tangga dan temboknya, ia biarkan tampak bata merah begitu saja...
Bapak pelaku seni, ia mendesain sendiri rumah bata ini dibantu oleh pakdeku dan timnya untuk membangun rumah bata ini.
Sewaktu belum ada pekerjaan masuk atau sedang senggang, bapak ikut membantu memasang bata, mengaduk semen dan lain-lain.
Saat proses pembangunan berlangsung, kami pindah ke dua rumah di depan rumah bata sehingga bapak dan ibu dapat memantau pembangunan rumah bata ini.
***
Bisa dibilang, komplek tempat tinggalku biasa saja dan tidak tampak seram. Namun suatu hari...
"Mba... Mba inem... Boleh tolong gendong Rana kedepan..." Kata Ibu yang masih menyusui adik ketigaku yang bernama Suri.
Rana adalah adik keduaku, usianya 4 tahun. Sedangkan Suri berusia 2 tahun dan masih menyusui, ia ikut menangis mendengar Rana yang sedang rewel karena demamnya.
Saat itu sekitar jam 12 malam, mungkin lewat. Aku jadi tidak bisa tertidur kembali karena mendengar tangisan Rana dan Suri.
***
Aku mengikuti mba Inem ke depan rumah. Di depan rumah kontrakan ini, aku masih bisa melihat rumah bata yang gelap dan tampak rangka-rangka besi yang menjulang ke atas.
Mba Inem menggoyang-goyangkan badannya dan menyanyikan sebuah lagu yang aku sendiri tidak tahu itu lagu apa.
Terdengar suara anjing melolong. Aku yang penasaran menaiki undakan semen yang telah di keramik yang biasa kami pakai untuk tamu duduk di teras depan, atau tempat kami duduk bersantai didepan rumah dan bermain bersama teman-teman.
Anjing yang melolong itu merupakan piaraan tetangga kami. Pagar rumah kontrakan kami tidak begitu tinggi, dan aku dapat melongok kearah taman komplek dengan menaiki undakan untuk duduk-duduk itu.
Namun seketika aku membeku.
Tangisan Rana semakin kencang, tapi aku tidak dapat memalingkan wajahku dari arah taman itu.Tak lama terdengar tangisan Suri ikut menggema, ditambah lolongan anjing tetangga yang terus menerus.
Ketiganya bersahutan.
"Neng, neng Dawa.... Jangan naik kesitu... Ini sudah malam... " Suara mba Inem memecah ketegangan, tetapi aku masih membeku, setidaknya aku yang berusia 6 tahun itu sadar kalau ada orang didekatku.
***
Di lapangan muncul sosok perempuan tua, berambut panjang acak-acakan.
Awalnya aku kira bude yang tinggal di depan rumah. Karena perempuan itu berjalan terseok kearah gang rumahku.Dari bentuk badannya memang seperti bude depan rumah, namun saat ia berjalan, aku heran...
Mengapa bude depan rumah mengangkat kedua tangannya kedepan!
Aku masih menunggu sosok itu mendekat dan menjawab panggilan dari mba Inem yang menyuruhku untuk turun dari tempatku berdiri.
Setelah semakin dekat, yang kulihat bukanlah sosok bude depan rumah.
Sosok itu merupakan sosok seorang perempuan berambut panjang yang rambutnya amat kusut, pakaiannya dres putih tampak kumal kecoklatan.
Aku mulai berpikir ini adalah orang gila yang tersesat masuk kedalam komplek kami.
Mba Inem juga sering menakutiku dengan orang gila bila aku tidak menurutinya, tapi aku sama sekali tidak takut sewaktu mba Inem menakutiku.
Aku penasaran dimana para bapak-bapak yang biasa berjaga malam dan berpatroli dengan memukulkan kentongan.
***
Sosok ini masih membuatku penasaran.
Awalnya ia berjalan menunduk, dan terseok-seok tetapi sekitar jarak dua rumah dari rumahku, ia mengangkat wajahnya menghadap arah ia berjalan. Tangan masih terangkat.
Disini aku dapat melihat kulit tangannya. Kulit itu tidak seperti kulit manusia. Kulit yang berwarna kehijauan, busuk dan mengelupas seperti kulit pohon tua dan bergetah!
***
Mataku terpaku pada sosoknya, dan sedikit bersyukur karena ia tidak melihatku."Bukan... Itu bukan bude depan rumah... Itu.... apa...?" Batinku sembari mengintip dibalik pagar.
Sosok itu semakin dekat dan aku dapat melihat wajahnya, eh matanya!
Tidak ada...
Kepalanya seperti tengkorak yang berlumut, hijau dan kering.
Tanpa bola mata!
Kepala itu bergerak dan berbunyi gemeretak.
Masih dengan tangan yang terangkat kedepan dan berjalan terseok, sosok itu melewati depan rumahku. Aku tidak bisa bergerak, terpaku membeku, mengintip.
Sosok itu seperti tersadar bahwa ada yang melihatnya, perlahan kepalanya berputar kearahku.
Aku sangat terkejut dan kejutan itu membuatku dapat bergerak. Aku berlari kearah mbak Inem dan bersembunyi dibelakangnya.
Sosok itu masih kupandangi dengan takut-takut dari belakang mba Inem.
Berjalan melewati rumah yang kami tempati sekarang...Entah kemana.
Rana menangis semakin kencang, anjing melolong dengan lolongan yang panjang. Suri yang masih kecilpun ikut menangis.
***
Keesokan harinya, badanku panas untuk beberapa hari.
Teman-teman dan yang lainnya tidak percaya ketika kuceritakan.
Terutama bude depan rumah.
Kupikir karena bude depan rumah sangat takut dengan hal mistis, sehingga menolak untuk percaya.
Atau karena aku mengatakan sosok seram itu mirip dengannya sehingga ia marah?
Atau memang karena aku masih kecil, jadi tidak ada yang percaya padaku?
***