Lily - Peran

101 8 3
                                    

Hai, Keep reading.


  "Hmm. Hai. Gue kira lo udah duluan ke sekolah." Kataku sambil berjalan ke  arah motor Jeha.


   "Niatnya sih gitu." Ucapnya sambil menyerahkan helm kearahku.


   "Tapi, sebagai pacar yang baik gue ga ngelakuin itu." Sambungnya sambil tersenyum kecil. Yang kubalas dengan pukulan pelan di lengannya.


***


Tik. Tok. Tik. Tok. Tik. Tok.


Itu bukan suara jam.


Bukan suara air menetes juga.


Tik. Tok. Tik.


"Lu bisa diem ga, Yog?" Tanyaku sambil melihat sinis ke arah Yoga yang asik dengan gadget di tangannya.


Yoga menoleh, lalu menggeram pelan, "Berisik nih. Gatau lagi seru apa. Spongebobnya keren nih. Lagi naklukin ubur-ubur."

 Terserah deh.


Besok hari terakhir kegiatan belajar mengajar. Terus naik kelas. Ketakutan yang selama ini aku pendam masih sama seperti dulu. Takut suatu waktu ... Ah, peduli apa aku sama kehidupannya. Tekadku sudah bulat. Aku tidak akan merelakan hidupku tersiksa deminya.


***


Pagi ini kelas X IPA 3 ramai dengan acara perpisahan kelas. Semuanya sibuk mendekorasi ruangan. Yoga terlihat tengah berdiri di tengah-tengah kelas sambil memegang pom pom milik anak-anak cheer. Sementara itu, Rio berdiri disampingnya memperagakan salah satu model iklan makanan. Segerombolan anak perempuan di sudut kelas tengah sibuk mengobrol sambil sesekali menyendokkan mananan yang tertimbun penuh diatas meja yang berada di tengah tengah mereka. Mereka acuh terhadap sekitar. Itu yang aku tangkap dari 1 tahun bersama kelas ini. Mereka hanya memikirkan laki - laki yang mereka kagumi. Membicarakannya itu terus setiap hari secara kontinuitas.


Hayalanku terhenti ketika salah satu dari mereka berjalan menghampiriku. Namanya Dinne. Ketua dari segerombolan itu. Roknya entahlah, hanya saja terlihat mengatung. Aku harap alasan rok itu mengatung karena dirinya bertambah tinggi. Hmmm.

"Lo Key anak sastra itu kan?" Suaranya kembali menginterupsi perhatianku. Mengangguk sudak cukup kan untuk menjawap pertanyaannya. Aku bingung saja. Sudah setahun sekelas kok masih menanyakan itu, Huh.


"Kok Jeha mau sih jadian sama lo? Melihat treck recordnya yang hmmm ... yang seleranya ga kayak lo, gue jadi takut jangan - jangan Jeha disantet sama lo." Suaranya yang tajam membuat satu kelas menoleh ke arah kami.

"Bukannya bagus kalau Jeha sadar dulu seleranya itu murahan? Hmm?"Balasku tak kalah tajam. Dinne memang mantannya Jeha. Aku tahu itu kemarin dari Jeha.


"Sialan. Lo tuh ya emang cewe gatau diri. 2#@!~!@$%^^&*(((()))*&{}:><?"{{{P"

Maaf, aku ga mau kalian medengar umpatannya yang tidak terdidik itu.


"STAAHHHHHPPPP" Teriak Rio membuat Dinne bungkam.


"Allahula ila hailla huwal hayyulkoyyum..." Suara Yoga tiba-tiba terdengar di sela sela keheningan.

"La ta' huzuhu sinatuwwalanaum....," lanjutnya kini terdengar makin khusyuk.

"Keluarlah iblis iblis penunggu kelas ini dari tubuh Adinne." Suara Yoga dan Rio mengaminkan membuatku terkikik geli. Suara gelak tawa terdengar di seluruh penjuru kelas.


"Hihihi, rasakan kau."


***


"Bisa-bisanya lo berbuat gitu Key. HAHAHAHAHAHA." Jeha memegangi perutnya. Kini, aku sedang berada di lapangan basket sekolah kami. Menceritakan tragedi siang tadi.


"Bisa lah. Key gitu."Ucapku sambil menepuk dadaku bangga.


"Emang deh, gue ga salah pilih perempuan." Ucapnya sambil mencubit pipiku yang dengan segera ku tepis. Emang ga sakit apa? Huh.


"Tapi, gue ga janji bakal menjadi tameng lu dalam jangka waktu lama. Ada masalah yang harus gue selesain, Je." Ucapku sambil memandang lurus ke depan. Iya, gue ga boleh lama-lama terlalu dekat sama Jeha. Gue takut nambah masalah.


"Masalah apa? Bisa gue bantu?" Tanyanya yang kini tengah menatapku intens. Aku hanya menggeleng pasrah. Yap, emang masalah ini gaada yang bisa bantu. Semua orang pasti akan berpihak kepadanya. Tak akan ada orang di pihakku.


"Lo bisa cerita kapan pun ke gue.


Ternyata, lo punya masalah yang dipendam ya? Gue kira lo tuh gaada beban. Habisnya, gapernah tuh gue liat lo sedih." Ucapannya membuatku terhenyak. Sebegitu pintarnya kah aku menyembunyikan kesedihan ini? Sampai - sampai orang lain tak tahu aku menanggu beban.


"Udah elah, kok jadi mellow gini." Kataku sambil bangkit dan menyelempangkan tas hitam milikku yang tergelatak.


"Lo pulang bareng gue kan?" Tanya Jeha sambil memasukkan bola basket ke tasnya.


"Iya deh."Ucapku sambil berjalan masuk ke parkiran.


"Tumben mau." Ucapnya sambil menyamakan langkahku.


"Iya, hemat ongkos." Ucapku acuh tak acuh. Jeha terdengar menghela nafas.


"Jahat lo sama gue. Jadi, gue dimanfaatin nih?" Muka Jeha terlihat sedih.


"Nah, itu lo tau." Kataku sambil menyengir yang dibalas Jeha pukulan pelan di lengan kananku.


***


Note :

Rapalan yang dibaca Yoga itu adalah ayat kursi.




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 13, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SAKARINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang