SELAMAT MEMBACA
***
Arjuna menatap kesal pada pemandangan di depannya. Di depan matanya seorang gadis berambut panjang, berseragam putih abu-abu baru saja turun dari boncengan motor teman lelakinya. Dia adalah Aruna, Aruna Arundita Putri Septian. Gadis cantik, yang tengah duduk di bangku kelas 12 itu tengah berbincang ramah dengan temannya. Tertawa lepas di halaman depan rumah. Tanpa mereka sadari, sejak tadi sepasang mata mengamati mereka dengan emosinya. Dari tempatnya berdiri, Arjuna dapat melihat Aruna yang tengah tertawa bersama teman laki-lakinya itu. Bahkan sesekali, tangan pemuda itu menyentuh rambut milik Aruna. Jika tidak memikirkan kewarasannya, ingin rasanya Arjuna menyeret Aruna untuk masuk kedalam rumah saat itu juga. Namun, lagi-lagi Arjuna berfikir siapa dia sampai-sampai berani bersikap demikian."Aruna, masuk sudah sore." Arjuna tidak bisa lagi menahan mulutnya untuk tidak bersuara. Mulutnya spontan memanggil untuk menyudahi pertemuan kedua pemuda dan pemudi itu.
Begitu mendengar panggilan Arjuna, Aruna langsung menoleh dan mengangguk. Tak lama kemudian, gadis itu berlari kecil menuju tempat di mana Arjuna menunggunya.
"Pulang sekolah bukannya langsung pulang, malah ngapain kamu itu?" tanya Arjuna dengan ketusnya. Aruna yang di tanya demikian merasa takut, apalagi melihat tatapan marah Arjuna padanya.
Arjuna, anak laki-laki dari majikan kedua orang tuanya. Laki-laki yang sudah dia anggap seperti kakak laki-lakinya sendiri. Meski dia dan Armaya adiknya hanya anak pembantu dan tukang kebun namun Arjuna dan kembarannya Rinjani sudah menganggap Aruna dan Armaya sebagai adik mereka sendiri. Begitupun dengan Aruna dan Armaya, mereka tidak pernah menganggap Arjuna dan Rinjani sebagai orang lain melaikan suadaranya sendiri.
"Iya, maaf Bang." Ucap Aruna sambil menunduk dalam. Dia benar-benar takut mengundang kemarahan Arjuna. Cukup laki-laki itu berkata ketus, sudah membuat nyalinya ciut. Apalagi jika sampai marah.
"Jangan di ulangi lagi." Setelah mengatakan itu, Arjuna langsung pergi begitu saja. Meninggalkan Aruna yang diam-diam menghembuskan nafasnya dengan lega.
"Selamat..." guman Aruna lirih sambil mengusap dadanya pelan.
"Makanya kalau tidak mau di marahi itu, jangan aneh-aneh." Aruna langsung menoleh, ternyata ibunya yang berbicara.
"Ibu ngagetin." Keluh Aruna pada Sarni yang datang sambil membawa sapu lidi di tangannya.
"Dari mana kamu Runa, jam segini baru pulang. Di antar siapa tadi?" tanya Sarni dengan penuh selidik pada anak gadisnya itu.
"Tadi ada jam tanbahan Bu," ucap Aruna lirih.
"Sampai sore begini?" Sarni merasa kurang puas dengan jawaban putrinya itu.
"Terus, beli es campur dulu sebentar di lapangan. Asik ngobrol sampai lupa waktu." Aruna takut di marahi, dia hanya bisa menunduk dalam diam.
"Besok lagi jangan begini. Kalau pulang sekolah ya pulang dulu. Jangan biasakan mampir-mampir. Apalagi masih pakai seragam begini."
"Iya Bu, maaf."
"Sudah sana masuk, ganti baju terus makan. Atau kalau tidak pulang aja, Ibu juga sudah masak tadi di rumah."
"Iya."
Setelah mengatakan itu, Aruna langsung masuk kedalam rumah. Tidak pulang, dia masuk kedalam rumah milik Arjuna. Rumah yang sudah dia anggap sebagai rumah keduanya. Bahkan dia sering lebih menghabiskan waktunya di rumah itu, ketimbang rumahnya sendiri.
***
Malam harinya, Arjuna tengah duduk dengan santai di depan TV sambil sesekali membaca buku di tangannya. Aruna dan Armaya tengah duduk lesehan di bawah, sambil masing-masing berhadapan dengan buku pelajarannya.