Pembagian raport sudah dilaksanakan dua minggu kemarin. Beberapa siswa dan siswi tentu didampingi oleh orang tua mereka. Seorang ayah dan ibu yang duduk di samping anak-anaknya, melihat hasil raport lalu memuji dengan kata manis.
Ya.. walaupun memujinya hanya sebatas di sekolah sih. Karena pasti saat di rumah beda lagi yang diucapkan.
Tapi terlepas dari hasilnya, menurut Saki mereka orang beruntung. Sudah sangat bagus bukan jika ada yang mendapingi? Sekalipun kakak, sanak saudara, bibi, paman atau pihak keluarga lainnya.
Jujur. Saki iri sekali melihat mereka. Bahkan pernah saat pembagian raport pertama kalinya, saat kelas 1 SD, Saki terus duduk di depan kelasnya memperhatikan murid lain bersama orang tua mereka yang lalu-lalang. Laki-laki itu tidak pulang sampai sekolah benar-benar sepi. Ia tersenyum saat para orang tua memberi hadiah pada anaknya. Ia meringis saat ada orang tua yang memarahi anaknya. Lalu ia menangis, dalam hati, karena tidak ada orang tua di sisinya.
Hal itu ia terus lakukan sampai kelas 3 SD. Kelas 4 hingga sekarang duduk di bangku kelas 3 SMA—baru saja—ia tidak peduli lagi dengan yang namanya "didampingi orang tua". Jika ada yang bersedia menemani tentu Saki akan sangat berbahagia. Misalnya Mas Yoyo tukang jahit di belakang kontrakannya, Ibu Tantri sang pemilik kontrakan, Mbak Nomi tukang gado-gado dari RT sebelah, atau bahkan orang yang lewat di depannya juga boleh.
Saki bisa menghadapinya sendiri. Kebetulan juga ia seorang laki-laki. Cukup kuat untuk menghadang cobaan.
"KAKAKKKKKKKK!!!"
Saki terlonjak kaget saat suara kencang tersebut mendekat ke arahnya. Ia menoleh, mendapati seseorang yang tengah lari terburu-buru.
"KAK SUMOAH GWAWAT!!!" suaranya tesengal-sengal. Kagok apa yang harus dilakukan antara bicara terlebih dahulu atau napas. "ASLI KAK HAHHH AKU—EH GUA ITU LIAT INI KAK—"
Saki berdecak mendengar ocehan tidak jelas tersebut. "Apa sih? Napas dulu gila." katanya kesal.
Yang dikesali langsung mengatur napasnya, menurut. Sambil menunggu, Saki memperhatikan orang itu dari atas hingga ke bawah. Ia memegang kepalanya seraya mencibir. "Abis ngapain dah? Rambut jelek lu berantakan gini anjir. Makin jelek lu," kemudian tangan lebar Saki memegang wajah orang itu, matanya agak lebih terbuka saat mendapati lebam merah keunguan di bagian pipi. "Lu kejedot? Nabrak tiang? Atau gabut terus benturin pipi ke benda keras?" ucap Saki tanpa jeda. "Preman lu? Seragam tuh ya dimasukin loh, gak usah berlagak gini lah." Ia merapikan seragam yang orang itu kenakan sambil terus mengoceh.
"Kak gua bukan anak tk buset. Apa sih tangan lo," orang tadi menepis tangan Saki. Ritme napasnya sudah stabil, ia bisa bicara dengan jelas sekarang.
"Dih? Gua serius kali. Tampilan elu tuh yang apaan. Rambut berantakan, seragam gak rapi, pipi lo juga. Kenapa?" Saki bertanya serius sambil mengalihkan pandangan ke bawah. Terkejut kecil saat melihat keanehan disana. "Lah sepatu kiri lo kemana? Ketinggalan karena buru-buru kesini? Diumpetin? Main cing umpet kan berarti? Ah gak mungkin kalau semisal lupa pake pas dateng ke sekolah, pasti bener kan? Main itu? Belum nemu lu? Buru-buru kesini mau minta bantuan? Boleh sini gua—"
Orang itu benar-benar kesal sekarang. Seriusan, asli, kesal banget. "Tutup mulut lu deh. Kalo ngomel kebiasaan banget gak ada ujungnya. Rel kereta juga kalah, tau?" katanya sambil menutup mulut Saki.
Saki hendak menggigit tangan yang mendekap mulutnya, namun ia kalah cepat. "Bau lu," hardiknya pada Saki.
Ia, Saki, memutar bola mata tak peduli. "Kesini ngapain buru-buru gitu, Rak? Serius dulu ah." ucapnya dengan suara rendah.
"Hah? ohhh iyaa, ngapain?"
Lah.
Bingung sendiri dia.
Saki mengusap wajahnya kasar. Frustasi berhadapan dengan orang di depannya ini. "Kenapa bego. Lu kenapa? Ke Na Pa! KENAPA???????"
Rakama Jiro, namanya. Orang yang tadi lari-larian sambil teriak.
Dia mendelik sebagai respons. Kemudian diam sejenak lalu heboh sendiri. "Lah kak..." ia melongo, "NGAPAIN MASIH DISINI????? GILA! BURU ITU ANU KAK ADUHHHHH DARITADI HARUSNYA LANGSUNG GUA TARIK AJA NI ORANG JELEK."
Tubuh Saki terhuyung saat tangannya ditarik secara kasar. "Monyet Jiro lepasin gak????" omelnya sambil berusaha melepaskan cengkeraman itu.
"WOY RAKAMA ITU DEPAN TEMBOK! CEPET BELOK GAK LO—" heboh. Suara Saki terdengar menggelegar. Siswa siswi yang kebetulan ada di koridor kelas 12 jadi memperhatikan mereka.
"ANJING RAKAMA JIRO GUA DOAIN LO JATOH DI DEPAN LAPANGAN YA!" sumpah serapah Saki keluarkan karena dirinya yang menabrak sana sini. Mulut Saki yang tak henti-hentinya mengucap itu membuat Jiro tertawa puas.
Saki menaik-turunkan napasnya secara kasar. "Jiro sumpah lo hewan paling jelek dari segala hewan."
...
— bersambung.Jiro kucingku paling lucu seduniaaakakalpspqpallajzuayshshs
KAMU SEDANG MEMBACA
Titik Temu
Teen FictionMimpi itu bunga tidur. Katanya. Tapi kenapa, ya? Mimpi bisa terus-terusan datang dengan suasana, tempat, dan objek yang sama. Selalu ada rasa resah saat kembali ke kehidupannya. Keringat dingin terlihat jelas disertai dengan napas yang tidak berira...