ONESHOOT

180 8 20
                                        

“Bedebah...”

Nakajima menghisap dalam-dalam linting ganja keduanya malam itu, lalu menghela napas perlahan—tak sudi kenikmatan itu berakhir secepat ia datang merasuki raga. Kepala Nakajima mendadak pengar; tubuh separuh telanjangnya lunglai di atas ranjang, sementara dua tungkai kaki yang hanya dibalut celana boxer itu menapak di lantai dingin. Aroma busuk bir sisa kemarin serta asap nikotin bercampur ganja membuat pengap ruangan yang sengaja ditutup tanpa sirkulasi itu.

Demi Neptunus, entah ini malam keberapa Nakajima membiarkan tubuhnya rusak dengan berbagai macam toksin. Tapi pria itu tak peduli bahkan jika ia ditemukan tewas besok hari. Nakajima membutuhkan racun-racun itu. Tidak hanya sebagai pengalihan atas hampa yang belakangan ini merasuk sampai ke sumsum tulangnya tapi juga sebagai ritual penghantar tidur.

Sungguh.

Apa yang sebenarnya terjadi pada Nakajima? Ia bahkan tak bisa mengenali dirinya sendiri. Setiap kali Nakajima bercermin dan memandang lurus ke depan, alih-alih melihat seorang idol muda yang namanya sedang naik daun; pria itu justru mendapati sosok hitam tanpa wajah yang selama ini terus menghantui mimpi-mimpi panjangnya tentang kenangan buruk masa kecilnya.

Nakajima kira ia telah cukup dewasa untuk menyadari bahwa apa yang telah terjadi tak bisa lagi diubah. Sekuat apapun ia berusaha, bahkan memohon dalam jeritan di malam-malam heningnya, ia tak bisa mengembalikan waktu yang hilang tanpa sosok yang bahkan warna matanya pun sudah tak bisa Nakajima kenali lagi.

Apakah sama dengan matanya?

Warna yang Nakajima sendiri ragui, entah itu sewarna kopi atau batu obsidian seperti yang dikatakan ibunya selama ini. Ah, persetan... Nakajima sama sekali tak bisa menggambarkan perasaannya sekarang lantaran segala indra yang ia miliki sudah tak mampu lagi merasa—bahkan rasa sakit sekali pun.

Drrrt.... Drrrt... Drrrt....

Smartphone Nakajima yang nyaris renyuk di antara bantal bergetar. Ada panggilan masuk entah dari makhluk mana. Sesungguhnya Nakajima enggan mengangkat benda terkutuk itu. Namun hidupnya sekarang bukan lagi miliknya sendiri, jadi mengabaikan panggilan-panggilan yang barangkali penting bukanlah opsi.

Padahal Nakajima hanya membutuhkan ketenangan—sejenak saja dari segala macam pertanyaan konyol yang diajukan wartawan serta tudingan-tudingan akan masa lalunya. Ia telah begitu lama terjebak dengan bising yang diciptakan kepalanya sendiri dan menjadi terkenal dalam waktu singkat membuat jiwanya yang selama ini lebih memilih untuk mengurung diri bergelora tak tertahankan.

Drrrt... Drrrt... Drrrt...

Benda itu kembali bergetar untuk kesekian kali dan Nakajima tak mungkin mengabaikannya lebih lama lagi.

“Argh...”

Nakajima terus menerus mengumpat di dalam hati seraya mengangkat sambungan suara tanpa melihat siapa yang memanggil.

“Halo?”

“Buka pintu Apattomu, Yu”

Sialan. Si Tengik satu ini. Bisakah ia enyah saja? Apa yang ia inginkan pada waktu sekarang ini? Tidak cukup kah mereka bertamu dalam perkara pekerjaan saja? Demi semesta, eksistensinya di muka bumi ini saja sudah membuat hidup Nakajima berantakan tak karuan.

“Pergilah, aku tak ingin melihatmu.”

“Buka pintumu atau aku masuk sendiri?”

“Heh...” Nakajima menyeringai seraya memaksa tubuhnya untuk bangkit duduk di pinggiran kasur. Matanya menatap sinis pada pintu apattonya lantas tertawa hambar. “Untuk apa kau repot-repot menelponku jika kau bisa masuk tanpa izin, Tuan Muda?”

UTSURO (OneShoot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang