SERINGKALI aku melihat Papa termenung di halaman rumah, sembari menyeruput teh manis hangatnya dan sesekali membaca berita atau menonton video kucing lucu dari layar ponselnya. Papa pernah bercerita pada kami bahwa waktu kecil ia pernah memelihara kucing jalanan yang dibawa ke rumah setelah Papa mendengar ceramah dari guru mengaji di mesjid bahwa kucing adalah hewan yang disayangi Rasulullah, tapi sesampainya di rumah asma Papa kambuh bahkan hingga beliau pingsan dan dibawa ke rumah sakit untuk dipasangkan tabung oksigen, sejak saat itu Papa tidak pernah memelihara seekor kucing pun dan hanya melihat video kucing lucu saja dari layar ponsel, kadang jika di akhir pekan Papa bisa menghabiskan waktu melihat video-video tersebut hingga dua sampai tiga jam penuh!
Belakangan ini mulai kusadari pula Papa tidak terlalu suka ada di dalam rumah. Tentu itu bukan karena beliau membenci rumah yang ia bangun dengan keringatnya sendiri juga bukan karena ia membenci Mama dan aku. Tetapi karena seiring waktu asma yang beliau derita semakin parah, bahkan debu rumah saja bisa dengan mudah memicu asma yang ia derita. Saat bekerja Papa menggunakan double mask, bahkan jauh sebelum wabah pandemi Covid-19 sedang marak beberapa tahun silam, suatu hal yang membuat Papa bercerita andaikan masker diproduksi lebih banyak dan lebih mudah didapatkan saat Mama dan dirinya masih berseragam putih abu-abu dulu mungkin saja mereka tidak akan berumah tangga seperti saat ini.
Sebab sewaktu SMA, tubuh Papa memang mudah sekali untuk sakit, bahkan Mama juga pernah bercerita kalau dulu sekali jauh sebelum aku lahir, Mama dan Papa memulai kedekatan mereka karena ruang UKS (Unit Kesehatan Siswa) di SMA setiap senin upacara bendera. Mama yang sewaktu itu termasuk dalam kelompok murid yang bertugas di UKS dan Papa yang tidak kuat lebih dari setengah jam berdiri di teriknya matahari pagi saat upacara. Tubuh Papa yang paling tinggi di sekolah, kurus, dan berkulit putih kemerahan tentu menjadi perhatian seisi sekolah setiap ia mendadak pingsan, sehingga seiring waktu para guru memutuskan agar Papa tidak apa kalau tidak ikut upacara dan di ruang UKS saja.
Awalnya Mama hanya melirik Papa dari kejauhan saat berada di dalam ruangan UKS, tapi ternyata Papa juga tidak kuat untuk piket kelas jika ruangan terlalu berdebu, atau bahkan tidak bisa mengikuti pelajaran di kelas ketika ada debu yang masuk melalui jendela dan ventilasi kelas. Jadinya karena terlalu sering bertemu dengan Papa di ruangan UKS akhirnya mereka mulai berkenalan.
"Hei, namaku Delina Georgesa, panggilanku Lina. Salam kenal, ya!"
"Hmm, namaku Muhammad Dionel Rakhim, panggilan Dion, salam kenal juga."
"Oh itu, aku sudah tahu, kok!"
"Kok, bisa?"
"Kan, kamu sering masuk UKS."
Seketika Papa tersipu malu, dan wajahnya merah seperti kepiting rebus, "Maaf asmaku sering kambuh soalnya."
"Apa selalu begitu? Maksud aku apa dari dulu sering kayak begini juga?"
"Enggak sih," Papa menggeleng ringan. "Hanya saja saat ini, kondisi ekonomi keluargaku sedang kurang baik, dan obat asma juga bisa dibilang mahal. Aku gak tahu apa asmaku jadi begini karena aku memang sedang sakit dan obatnya tidak bisa kami beli atau karena kondisi keluargaku yang sedang tidak baik-baik saja jadinya asmaku sering kambuh."
"Lalu bagaimana dengan anggota keluargamu yang lain?"
Lalu Papa bercerita pada saat itu sedang tahun 1998, krisis moneter juga membuat beberapa usaha masyarakat terkena dampaknya termasuk usaha perabot yang dikelola oleh Mbah Uti dan Mbah Kakung di Selangor yang mengambil dan mengolah bahan di Jepara sebelum diekspor ikut terdampak. Belum lagi Papa adalah anak pertama dengan tiga orang adik kembar perempuannya yang terpaut berjarak usia cukup jauh dari Papa yang masih balita dan sedang sakit-sakitan terkena pandemi Nipah yang saat itu sedang mewabah di Malaysia.
Mendengarkan cerita itu Mama jadi berkeca-kaca, dan Mama ikut menceritakan soal kekhawatirannya lantaran saudara-saudara Kakek mulai menjauhinya lantaran Kakek lebih memilih untuk menjadi WNI (Warga Negara Indonesia) sementara keluarga Kakek yang lainnya setuju jika Timor Timur berpisah dengan Indonesia. Mama merindukan sepupu-sepupunya juga keluarganya yang mayoritas berdomisili di Aileu, namun Mama tahu jika kedepannya bisa saja ia tidak bisa bertemu dengan mereka lagi.
Mungkin karena cerita itu, atau mungkin memang karena Tuhan sudah menggariskannya sebagai takdir bagi Mama dan Papa, dari sana mereka mulai berteman dan menjadi semakin dekat. Mama selalu menguatkan Papa di kala-kala sedihnya hingga asma yang diderita Papa mulai jarang kambuh, dan seiring waktu adik-adik Papa, Tante Diana dan Tante Dinda mulai sembuh dari wabah, terkecuali mendiang Tante Diah yang meninggal karena wabah Nipah. Kondisi ekonomi keluarga Papa yang semakin membaik sejak Mbah Kakung memutuskan agar mereka menutup usaha di Selangor dan memindahkannya ke Aceh yang justru berkembang jauh lebih pesat hingga mendominasi perdagangan perabot di pulau Sumatra, daripada saat mereka membuka usaha di Selangor yang kesulitan untuk menjual perabot ke kota terdekat.
Dan untuk Mama, semenjak ponsel mulai diperdagangkan secara luas di awal tahun 2000an, Mama jadi bisa menghubungi sepupu-sepupunya di Timor Timur bahkan hal tersebut masih terus berlanjut hingga Timor Timur menjadi Timor-Leste. Mama dan keluarganya dari pihak Kakek, mereka boleh saja saat ini berbeda kewarganegaraan dan seperti apapun kendalanya bagi Mama keluarga tetaplah keluarga.
Apakah saat itu Mama dan Papa berpacaran? Tentu tidak, selain karena persoalan kebudayaan dan suku mereka yang berbeda, agama Mama dan Papa juga berbeda. Papa yang beragama Islam dan Mama yang beragama Katolik, menjadi alasan utama baik Papa maupun Mama sama-sama tidak bisa mengungkapkan perasaan mereka. Sekalipun keduanya masih bersahabat, dan setiap kali berjumpa mereka sama-sama tahu mengenai perasaan satu sama lain meski hanya dari tatapan saja, meski tidak ada satu pun kata mengenai perasaan mereka terucapkan. Jangankan mereka berdua, teman-teman di sekitar mereka pun dapat melihat hal tersebut dengan jelas. Sayangnya baik Mama dan Papa sama-sama menyangkal perasaan mereka.
Hal tersebut masih terus berlangsung hingga akhirnya Mama memutuskan untuk pindah ke agama Islam diam-diam dan segera menyatakan perasaan cintanya pada Papa, lalu mereka pun menikah dengan wali Mama pada saat itu adalah dari pihak KUA (Kantor Urusan Agama). Mama masih merahasiakan pernikahannya dengan Papa sampai akhirnya Kakek dan Nenek tahu dan menangis sejadi-jadinya bahkan hingga Nenek pingsan. Kakek menyatakan kekecewaannya pada Mama dan bertanya, "Kenapa kamu begini?" Dengan nada kekecewaan dan napas yang masih sesak.
Mama pun akhirnya mengepak barang-barangnya. Mama memang sesekali mengirim Kakek dan Nenek uang ataupun mengirim masakkannya pada mereka saat Paskah dan Natal, bahkan hingga ke hari-hari nasional yang agak jarang dirayakan dengan berkirim makanan seperti Hari Lahir Pancasila, Hari Tritura, Hari Persatuan Farmasi Indonesia, dan entah hari apalagi yang dijadikan Mama alasan untuk mengirim makanan kepada Kakek dan Nenek. Namun semua itu dikirimkan kembali oleh Kakek dan Nenek sehari setelahnya, jika makanan tersebut masih baik, Mama sendiri yang akan memakannya hingga habis saat tengah malam sambil menangis dan ditemani oleh Papa. Aku ingat Papa bercerita bahwa pada masa-masa itu berat badan Mama sempat naik hingga 35 kilo karena perpaduan dari stres hormonal saat hamil dan terlalu sering memasak. Selain itu, tak jarang beberapa makanan diterima kembali oleh Mama dalam keadaan busuk. Bahkan telpon Mama pun tidak lagi diangkat oleh keluarganya yang ada di Timor Leste.
Tapi seperti, lagu Banda Neira, yang kurang lebih seperti ini:
Yang patah tumbuh, yang hilang berganti
Jadi meskipun Mama belum bisa diterima oleh Nenek dan Kakek juga keluarga dari pihak Kakek saat itu, di sisi lain keluarga Mama dari pihak Nenek yang mendengar kabar Mama pindah keyakinan mulai menghubungi Mama sebab Nenek sebelum menikah dengan Kakek dulunya beragama Islam. Dan keluarga Nenek lah yang mengajak Nenek dan Kakek untuk pergi bersama-sama mengunjungi Mama di rumah sakit sewaktu Mama dirawat usai melahirkanku dan ketika Kakek dan Nenek melihat bagaimana perjuangan Papa merawat Mama sekaligus aku yang masih kecil sekali. Tepat pada saat Kakek dan Nenek pertama kali menggendongku dan dengan terisak Kakek berkata, "Kamu memang cucuku, kamu mirip sekali denganku..."
Kata Papa pada waktu itu Mama masih belum kuat untuk mengucapkan apapun, tapi satu hal yang pasti semua jarak dan dinding yang terbangun antara kami, saat itu seolah telah usai. Kami adalah keluarga, terlepas dari perbedaan yang ada di antara kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Crush Is A Mermaidboy
RomanceAirin baru saja putus asa lantaran kompetisi renang tingkat provinsi yang tidak berhasil ia menangkan sementara ia butuh untuk memenangkan kompetisi itu agar mendapat beasiswa untuk masuk ke universitas impiannya sebab dari nilai akademik Airin sama...