ARYANDA
Denting bilah hitam putih yang menciptakan alunan musik indah sukses memanjakan telinga siapa pun yang hadir malam ini di Aula Simfonia Jakarta, termasuk gue, yang terbius dalam permainan apik Christina Fredd—pianis muda asal Inggris yang sedang melangsungkan tur resital ke beberapa negara, termasuk Indonesia.
"It's an honor for having Jakarta on my recital tour." Christina mengungkapkan rasa bahagianya setelah ia menyelesaikan penampilan terakhirnya dengan repertoar Polonaise in A-Flat Major atau lebih dikenal dengan Polonaise 'Heroic'gubahan Chopin.
"Because Jakarta always feel special for me, I'll play an encore for you. Please enjoy." Kalimat terakhir disambut dengan tepuk tangan meriah, mengiringi Christina kembali duduk di depan grand piano yang menjadi partner resitalnya malam ini.
Suasana kembali tenang dan tak lama kemudian denting piano kembali terdengar. Permainan Christina kembali sukses membuat semua yang duduk di aula malam ini terpukau.
"Duh, ini apa sih, judulnya? Kok lupa?"
Di tengah-tengah encore, perempuan yang duduk di sebelah kanan gue bergumam pelan, sedikit mengusik konsentrasi gue akan permainan piano Christina.
"My God, ini Rachmaninoff, kan?" Dia kembali bergumam. Nada bicaranya terdengar menggemaskan karena sepertinya dia mengetahui judul repertoar yang dimainkan Christina, tapi saat ini dia benar-benar lupa.
Karena perempuan itu tak kunjung mendapat jawaban atas pertanyaannya sendiri, gue berinisiatif untuk membantunya. "Judulnya Liebesleid. Repertoar Kreisler yang digubah Rachmaninoff."
Perempuan itu menoleh dan kedua manik mata kami bertemu. Ia menggigit kecil bibir bawahnya sesaat sebelum berterima kasih atas jawaban gue. "Thank you, ya."
Gue hanya mengangguk pelan dan tidak lama kemudian encore selesai. Bersama dengan penonton lainnya, gue bangkit berdiri untuk memberikan tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi atas permainan Christina malam ini. Kecuali perempuan di sebelah gue.
"Nggak ikut kasih standing ovation?"
Perempuan itu terlihat kaget saat mendengar pertanyaan gue, seperti baru tersadar dari lamunannya sendiri. Kemudian ia pun buru-buru bangkit berdiri dan ikut bertepuk tangan sebelum pergi meninggalkan aula terlebih dahulu.
'Kenapa dia pergi duluan? Apa dia malu karena gue tegur seperti barusan?'
Mendadak gue merasa sedikit bersalah karena sudah sok akrab menegur perempuan itu. Seharusnya gue bisa menahan diri. Barangkali seusai Christina kembali ke belakang panggung dan lampu aula dinyalakan, gue bisa mengajaknya berkenalan.
*
LARAS
Sebagai orang yang paling tidak betah berlama-lama di keramaian, begitu resital tunggal Christina Fredd selesai, aku segera keluar dari aula. Karena sangat tidak mungkin untuk memanggil taksi online—karena hanya akan membuatku lebih lama menunggu, ditambah jalanan sekitar aula macet— jadi lebih baik aku yang mengalah, berjalan lebih jauh sedikit untuk mencegat taksi konvensional di jalan raya.
Tapi sepertinya malam ini nasibku sial. Tidak ada satupun taksi yang lewat. Kalau ada yang lewat pun sudah berpenumpang, membuatku harus lebih sabar menunggu di pinggir jalan sampai sebuah mobil sedan putih berhenti tepat di depanku dan pengemudinya menurunkan kaca jendelanya.
"Hai, lagi nunggu taksi, ya?"
Aku menyipitkan mata, berusaha mengenali siapa laki-laki yang tiba-tiba sengaja menghentikan mobilnya untuk mengajakku bicara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revive
Romance[SEDANG DALAM PROSES REVISI, RE-PUBLISH CERITA AKAN DILAKUKAN BERTAHAP] Sebagai laki-laki dewasa, keinginan Aryanda hanya satu, yaitu bebas menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa campur tangan sang ayah-terlebih saat ia bertemu dengan Laras, peremp...