"Bagaimana pendapatmu tentang Für Elise?"
Tidak ada angin, tidak ada hujan, sulung Igarashi datang ke taman sekolah pada jam istirahat dan menanyakan hal itu kepada Ayaka. Entah sejak kapan pemuda jangkung berumur delapanbelas tahun itu menyukai musik klasik. Bahkan mendengarkan lagu yang sekarang sedang tren saja dia merasa bosan.
"Masterpiece," jawab Ayaka dengan singkat, padat dan jelas sebelum kemudian menikmati bubble tea yang dibawakan Ikki dari kantin.
Ikki sempat terbengong selama beberapa saat. Itu saja? pikirnya. Jelas bukan itu yang diharapkannya untuk keluar dari mulut Ayaka. Dia butuh jawaban spesifik dengan penjelasan yang mendalam. "Lalu, apa yang kaurasakan saat mendengarkan lagu itu?" tanyanya lagi seraya mempersiapkan buku dan alat tulis dari dalam tas sekolahnya.
Kini malah Ayaka yang terbengong dan menginspeksi Ikki dengan tatapan mata penuh pertanyaan. "Kau sedang ada tugas wawancara?" Ayaka balik bertanya pada pemuda di sebelahnya, sekaligus mencoba menerka inti dari permasalahan yang sedang dihadapi teman sekolahnya sejak SD itu.
"Tidak juga," jawab Igarashi muda sambil sedikit menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Aku hanya sekadar ingin tahu saja," tambahnya, memberikan sedikit alasan agar Ayaka tidak curiga.
Sulung Oketani tidak langsung menjawab pertanyaan Ikki. Dia selalu seperti ini saat sedang butuh contekan, batinnya. Kedua matanya menyipit; yakin dan curiga Ikki sedang ada maunya.
"Hei, jawab saja pertanyaanku. Tidak usah sambil memicingkan mata begitu." Ikki sepertinya sadar kalau dirinya ketahuan, namun dia telah memutuskan untuk tetap nekat. Toh itu cuma Ayaka, bukan ayah ataupun ibunya. Kemungkinan terburuk yang bisa terjadi adalah Ikki akan diseret ke dojo sekolah, lalu Ayaka akan memberinya satu atau dua 'pelajaran' tambahan.
Percuma, pikir Ayaka. Mau dihajar berapa kali pun, Ikki tidak akan bertobat. Dia harus diberi efek jera yang lain dari biasanya. "Apa kau yakin jawaban dariku akan berguna? Karena yang dirasakan setiap manusia saat mendengarkan musik itu berbeda-beda," katanya kemudian.
Sialan! Dia benar-benar tahu ke mana arah pembicaraan ini! umpat Ikki dalam hati. Naluri Ayaka yang terlalu tajam atau memang akunya saja yang terlalu bodoh?
Terlalu sering menggunakan trik yang sama, lebih tepatnya. Tidak mengherankan jika kemudian Ayaka menjadi gampang curiga.
"Sudah, jawab saja. Siapa tahu berguna."
Ikki bukan pelajar yang terlalu buruk sebenarnya, hanya saja tidak semua pelajaran dapat dia kuasai. Kesenian adalah salah satunya. Ikki dan teman-teman sekelasnya mendapat tugas untuk menjabarkan emosi yang terdapat pada lagu Für Elise. Kendati sang guru telah menjelaskan bahwa jawaban soal adalah bebas sesuai pendapat pribadi, Ikki benar-benar ogah untuk yang satu ini.
"Mood swing," jawab Ayaka.
"Apa?" Ikki tidak memperhatikan.
"Mood swing," kata Ayaka lagi. "Perasaanku kerap berubah-ubah saat mendengarkan Für Elise. Ya...meskipun ada satu perasaan yang paling dominan di antara semuanya." Si gadis mengisap lagi bubble tea-nya sampai habis sementara Ikki bersiap mencatat dengan buku dan pulpennya.
"Baiklah, perasaan apa itu?"
Ayaka melemparkan gelas plastik bekas bubble tea itu ke tempat sampah, "Perasaan ingin buang air besar. Sudah, ya. Aku mau ke toilet dulu," katanya lagi, lalu mulai ambil langkah meninggalkan taman.
"Hei, tunggu dulu! Bagaimana dengan tugasku? Nakano Sensei meminta kami mempresentasikannya secara lisan di depan kelas. Bagaimana aku bisa melakukannya kalau kau tidak memberikanku jawaban yang lengkap?" Ikki menyusul Ayaka dengan tergesa-gesa.
Yang dikejar tidak memperlambat langkahnya sedikit pun. Dia hanya menoleh ke arah pemuda di belakangnya seraya berkata, "Kenapa kau tidak mencoba untuk mendengarkan lagu itu sendiri saja? Nanti aku akan mengirimkan link lagunya ke padamu." Ayaka mempercepat langkahnya menuju toilet siswi. Mau tidak mau, Ikki berhenti mengejarnya.
"Hei, kau berutang bubble tea kepadaku!" teriak Ikki dengan agak kesal sementara Ayaka malah sempat-sempatnya mengacungkan jari tengah ke arahnya tepat sebelum tubuh gadis itu menghilang di balik tembok.
Apa boleh buat? Ikki tidak punya pilihan lain.
Bersambung.
*
Author's Note:
Wkwkwk... Maaf kalo chapter pertamanya cuma segini. Yang penting udah usaha. 😂 Oh, iya... FYI, buat kalian yang belum tau. Für Elise adalah sebuah komposisi musik klasik yang diciptakan oleh Ludwig van Beethoven. Salah satu lagu yang mungkin udah lumayan sering diperdengarkan di mana-mana meskipun terkadang banyak yang nggak sadar kalo itu salah satu masterpiece terbaik di dunia.Sama seperti kata Ayaka, aku juga suka ngalamin mood swing kalo lagi dengerin Für Elise. Dominan yang aku rasain, jujur sih, galau. Wkwkwk... Iya, perasaan galau. Bukan perasaan pengen berak kayak Ayaka tadi. 🤣 Di awal aja udah berasa banget kayak ada kegundahan yang sulit untuk didefinisikan oleh kata-kata. Lalu di bagian selanjutnya ada perasaan bahagia. Ceria banget pokoknya. Tapi kemudian galau lagi. Trus marah, kayak agak sedih juga. Ujung-ujungnya galau lagi. 🤣 Harap maklum, karena Beethoven menciptakan ini untuk seorang cewek yang dia suka, tapi nggak dapat balasan cinta.
Di bagian akhir chapter ini aku bakal kasih videonya. Silakan didengarkan dan kalo mau sharing gimana perasaannya setelah mendengarkan Für Elise, yo monggo komen aja. Tapi ini aku agak susah buat dapetin yang sama persis kayak versi aslinya. Kebanyakan yang aku dapet dari YouTube temponya udah diubah sedemikian rupa. Tapi yang bakal aku kasih ini termasuk yang enak banget buat didengar. Esensi perasaan yang sampai ke aku juga secara garis besar tetap sama.
Okelah, selamat mendengarkan. Kira-kira perasaannya Ikki kayak gimana ya setelah mendengarkan Für Elise? Tunggu aja di chapter dua. Semoga nggak telat update-nya. Wkwkwk... 😂
KAMU SEDANG MEMBACA
SerIkkAya - Sebuah Serial Tentang Ikki & Ayaka
FanficKumpulan kisah tentang dua sahabat yang terlampau biasa. * - Kamen Rider Revice - Igarashi Ikki & Oketani Ayaka - Friendship