Cinta Tanpa Cita

6 0 0
                                    

“IBU KENAPA?” teriakku panik saat melihatnya hampir terkulai luruh. Aku papah dirinya duduk di kasur lantai yang sudah usang.

Saat itu ia hanya menepuk-nepuk dada sambil berkata lirih meminta minum. Segera diriku ambil air putih yang memang biasa tersedia di pojok kamar.

Setelah merasa cukup baikkan, Ibu menyuruhku makan. Sedikit pusing, katanya saat kutanya mengapa tadi dirinya terkulai lemah. Kubuka tudung saji, terlihatlah sayur bening yang sangat menggiurkan. Tak luput dengan tempe goreng dan sambal terasi. Menu yang sangat pas untuk diriku yang baru saja pulang bekerja.

Namun kali ini makanku tak lahap, karena mendengar Ibu terbatuk batuk. Aku cepat-cepat menyelesaikan makan, lalu berganti baju dan mengajak ibu ke dokter. Diriku tidak tenang melihatnya begitu lemas selama perjalanan. Semoga baik-baik saja, harapku ketika Ibu masuk ruang pemeriksaan.

Sambil menunggu, aku pergi ke bagian administrasi untuk menunjukkan kartu kesehatan. “Ini mbak kartunya,” ucapku pada penjaga.

Tak lama timbul kegaduhan saat beberapa perawat mendorong brankar pasien pria korban kecelakaan. Tampak dua orang polisi mendatangi meja administrasi.

Mereka menjelaskan pasien ini tidak memiliki identitas yang sekiranya bisa dipakai untuk mencari keluarganya. Polisi tersebut takut jika belum mengurus administrasi tidak akan dilakukan tindakan.

“Tidak apa-apa pak, khusus untuk korban tanpa identitas bisa langsung dokter tangani. Nanti saat sadar kita coba tanyakan keluarganya,” ucap salah satu bagian administrasi.

Polisi itupun pergi ke kursi tunggu di depan ruang UGD setelah berterimakasih. Karena penasaran, kuhampiri polisi tersebut usai menyelesaikan pembayaran.

Aku bertanya kronologi kejadian dan kondisi pasien. Polisi berkata menurut warga yang tinggal di sekitar TKP, pria ini memang selalu berjalan kaki sendirian. Hari ini nasib sial mendatanginya. Ia ditabrak lari seorang pengendara motor yang sedang lawan arah.

Setelah meneliti tempat TKP, tidak ditemukan satupun barang identitas hingga polisi bingung harus menghubungi siapa. Namun kata salah satu warga, ada rumah sakit terdekat yang bisa langsung menangani pasien tanpa identitas. Segeralah pasien itu dibawa karena melihat kondisinya membutuhkan penanganan cepat.

Kupikir matang-matang, bagaimana bila ternyata pria ini sebatang kara. Apakah ia sanggup membayar biaya rumah sakit? Mendengar kondisinya, sepertinya ia akan dioperasi. Aku memang memiliki sejumlah uang, namun ini hasil tabunganku dua tahun terakhir untuk berkuliah. Ah tak apalah, pikirku. Uang bisa kucari lagi, yang penting kesehatan pria ini pulih kembali.

Setelah pamit pada polisi, aku kembali ke meja administrasi dan berkata akan bertanggung jawab dengan biaya perawatan pasien tadi. Semoga uang ini bermanfaat untuknya, rapalku dalam hati.

“Apa kata dokter Bu?” tanyaku saat kembali ke ruang pemeriksaan dan melihat ibu sedang duduk di bangku.

“Ibu gak apa nak, hanya lelah aja,” jawab ibu sembari memberikan resep dokter yang harus ditebus.

Di perjalanan menuju tempat obat, kuceritakan kejadian tadi pada Ibu. Beliau terkejut begitu tahu uang tabunganku dipakai untuk perawatan pria tadi. Ibu ingat bagaimana gigihnya aku bekerja demi memenuhi target tabungan.

“Jadi nanti kuliahmu bagaimana? Ibu tidak punya simpanan banyak untuk menunjang hidupmu disana saat kuliah.”

“Dibatalin dulu gak apa Bu, Bapak itu lebih butuh uangnya. Nanti aku bisa kerja lagi untuk nabung lebih banyak.”

Tepat setelah nama ibu di panggil untuk mengambil obat, suster yang sepertinya tadi ikut masuk ke dalam ruang UGD menghampiriku.

Dia berkata jika ternyata pria itu tidak perlu dioperasi, hanya butuh lebih lama rawat inap dan memastikan tangannya membaik maka ia boleh pulang. Dia juga menyebutkan nomor kamar rawatnya kepadaku agar bisa mengunjunginya saat sadar nanti.

Rengkuh HarsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang