Lambang yang Dilarang (1)

700 22 7
                                    

Seharusnya aku tak perlu terkejut ketika Kaunista menjadi satu-satunya topik yang dibicarakan para cewek sepanjang pagi ini. Telingaku tak hentinya mendengar cewek-cewek membahas topik hangat ini Tangan-tangan berkuteks mereka mencengkeram gelas-gelas Styrofoam berisi kopi panas sembari menceritakan pengalaman mereka pagi tadi.

            “Jadi, Lady Trasia, ceritakan padaku mengenai pagi harimu yang menyenangkan tadi?” Olivier muncul begitu saja di sampingku dan mengangkat baret, memamerkan rambut cokelat terangnya yang acak-acakan. Nada bicaranya campuran geli dan mencemooh.

            “Oh, diamlah, Olivier,” kataku mengabaikannya dan terus berjalan menuju ke kelas Sejarah. Olivier masih mengikuti di sampingku.

            “Jadi, berapa kansmu untuk bisa menjadi calon istri pangeran, Tras?” tanya Olivier menyeringai, memamerkan lubang-lubang kecil di pipinya. Ia menarik ranselnya yang melorot ke atas bahunya. Aku menoleh. Lengan kemejanya sedikit terangkat, dan noda garis hitam terlihat dari lengan atasnya yang kekar.

            “Aku tak peduli. Hanya menjalankan tugas sebagai warga kerajaan.” Aku mengangkat bahu.

            Kami berdua memasuki ruangan kelas yang masih sepi. Aku menghela napas.

            “Maksudku, ini agak sedikit berlebihan, bukan?” keluhku mengambil tempat duduk di tengah kelas, sementara Olivier melempar ranselnya yang terlampau ringan ke meja di sebelahku, lalu duduk di meja kayuku.

            “Ayolah, ini tidak terlalu buruk,” kata Olivier. Ia mencopot baretnya dan mengamatiku dengan penuh minat. “Kapan lagi kau bisa melihat dan berpartisipasi dalam Kaunista secara langsung?”

            Olivier mendapat poin untuk argumennya.

            “Jadi, ceritakan padaku soal foto-fotonya? Kau tak memakai baju mengerikan yang kaupakai sekarang ini, bukan?” tanya Olivier menuding blus bunga-bunga yang sedang kukenakan sekarang.

            Olivier tertawa terbahak-bahak begitu aku tak menjawab pertanyaan, tetapi malah mengambil buku Sejarah Dwaven dan mulai membuka-buka bab yang akan diteskan hari ini. Cowok itu bahkan sampai memegangi perutnya meski aku tak paham apa yang lucu dari memakai baju meriah seperti ini.

            “Kau benar-benar lucu, Tras,” ujar Olivier, kakinya menapak ke permukaan lantai kelas yang mengilat kemudian berjalan ke mejanya. “Aku tak bisa membayangkan jika pangeran memilihmu. Itu pasti benar-benar konyol.”

            “Tak mungkin terjadi,” gumamku, mau tak mau tersenyum, sambil menoleh ke arahnya.

            Aku dan Olivier sudah saling mengenal semenjak kami berdua masih di Tingkat Dasar. Kami berdua masih enam tahun. Rumah Olivier juga hanya beberapa blok jauhnya dari rumahku. Ayah Olivier meninggal ketika Perang Besar sepuluh tahun yang lalu. Tak heran ia begitu pendiam dan pemurung saat aku bertemu dengannya pertama kali. Sampai sekarang terkadang masih tertutup terhadap orang lain, tetapi sayangnya tidak terhadap diriku. Ia menjelma menjadi cowok yang luar biasa menyebalkan. Berhasil berteman baik dengannya selama lebih dari sepuluh tahun tanpa ada niat untuk mencelakakan dirinya bisa dibilang suatu prestasi bagiku.

            Merasa diamati, cowok itu balas memandang heran ke arahku. Aku mengedikkan kepala, dan Olivier membungkuk dan membongkar ranselnya. Ia mengeluarkan sebuah buku dan pena dari dalam tasnya. Mataku tertuju pada buku tulisnya. Tidak. Buku tulisnya sangatlah kumal, dengan lembaran-lembaran yang tertekuk di ujung bukunya. Gambar yang tertera di sampulnyalah yang menarik perhatian.

The AnarchyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang