6. Deja vu

2.5K 395 102
                                    

Kota Bandung lagi-lagi dilanda hujan deras. Regan menghentikan mobilnya di depan rumah makan khas Jepang. Mematikan mesin mobil lalu mencondongkan tubuhnya ke belakang mengambil payung.

Nahla diam di tempat duduknya. Kenapa Regan membawanya kesini? Ingin membuat Nahla mengingat masa lalu mereka?

"Ayo turun," Tegur Regan.

"Harus banget makanan Jepang?" Nahla menatap Regan.

Regan mengerutkan keningnya. "Emang kenapa? Bukannya ini makanan favorit kita?"

Berhenti menyebut kita. Batin Nahla.

Regan keluar dari mobil terlebih dahulu, membuka payung lalu menghampiri Nahla. Membukakan pintu sembari mengulurkan tangan membantu Nahla turun.

Nahla menyingkirkan semua rasa di dalam dirinya untuk bersikap seperti biasa. Meraih tangan Regan lalu keduanya masuk ke dalam. Merasakan lembut tangan Regan melingkar di bahu seolah menjaganya seperti dahulu. Nahla tahu bahwa tidak ada rasa lagi dalam diri Regan untuknya. Namun, tidak semudah itu bagi Nahla melupakan segalanya. Biarlah Nahla hilangkan dengan perlahan dengan caranya.

Regan memesan tempat yang tertutup sehingga Nahla tidak perlu khawatir ada yang melihat keduanya.

Deja vu. Kalimat yang pas untuk saat ini. Nahla merasa ia dan Regan seperti dulu. Ketika semua masih baik-baik saja. Tertawa, melakukan hal yang keduanya sukai sampai lupa waktu. Kenangan hanyalah harga yang tidak ternilai, sekarang Nahla hanya bisa duduk diam mendengar Regan memesan menu tanpa harus Nahla kasih tahu.

Nahla ingin sekali melupakan bahwa lelaki di hadapannya ini bukan kekasih perempuan lain, sehingga tidak ada rasa bersalah dalam dirinya.

"Ada tambahan, Na?" Tanya Regan memecah keheningan.

Nahla tersenyum menggeleng. Pelayan restoran pergi usai mencatat pesanan.

"Ini restoran Jepang paling enak di Bandung. Akhirnya kesampaian bawa lo makan disini," Kata Regan tersenyum.

"Kenapa harus bawa gue?"

"Karena lo suka makanan Jepang,"

Nahla membuka tutup botol air mineral. "Pacar lo? Nggak suka?" Tanya Nahla pelan.

"Suka, tapi lebih sering makan di angkringan."

Nahla tersenyum bergetar. "Pacar lo sehebat itu ternyata,"

"Semua perempuan itu hebat. Lo juga hebat,"

Nahla menghembuskan napas berat. "Gue boleh tanya satu hal? Sebenarnya ini pertanyaan sudah gue pendam lama, mungkin ini waktu yang tepat,"

"Em, apa?"

Nahla diam lama namun akhirnya pertanyaan yang mengganjal di hati tidak bisa keluar dari mulutnya. "Nggak, kapan-kapan aja,"

"Ngomong aja,"

"Nggak ada yang perlu di bahas—"

"Hubungan kita?" Regan memotong kalimat Nahla. "Lo masih marah?"

"Nggak," Nahla tersenyum kecil. Berbeda sekali dengan hatinya saat ini. Kenapa Nahla tidak bisa mengutarakan apa yang ia rasakan. Sulit sekali rasanya, seperti ada tembok besar yang harus Nahla panjat mati-matian dan akhirnya menyerah sebelum mencapai puncak.

"Ngomong aja kalau itu mengganggu dan buat lo merasa nggak nyaman. Gue nggak masalah, Na,"

Iya. Segampang itu bagi lelaki.

Dan lagi Nahla hanya bisa membalas dengan senyuman. Rasanya terlalu lelah memikirkan hatinya.

Keduanya memilih diam bermain handphone. Nahla membalas pesan Ayra yang menanyakan keberadaannya. Membaca informasi terbaru di grup yang mengatakan bahwa ospek fakultas dan jurusan akan di gabung dalam waktu bersamaan dan bertempat di salah satu wisata yang terletak di kota Bandung.

Regan & NahlaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang