Belum lama semenjak dirinya pulang bersama Damian kemudian merebahkan diri di atas kasur. Yang ia lakukan setelahnya hanya berinteraksi dengan ponselnya.
Selepas meminum kopi, rasa kantuk yang bertengger pada ujung mata hilang seratus persen. Bahkan dengan berjalan beberapa meter dari cafe membuat saraf raganya kembali aktif. Dan, ya, sekarang ia sudah selesai menyicil skripsi di kampus, maka ia berniat untuk mencari hiburan sejenak melalui ponsel di rumah.
"Hm?" gumam Anya menjejal heran.
Di tengah malam seperti ini, ada seseorang yang mengirim pesan padanya. Tanpa menghabiskan waktu lama, lantas jemarinya menekan notifikasi pesan yang hadir sehingga nuansa layar berubah.
Damian.
Sang pengirim pesan di tengah malam, itu dia. Ia mengirim pesan pada Anya untuk mematikan ponselnya, katanya layarnya terlalu terang hingga cahayanya sampai menembus jendela ruangan yang dihuninya, dan itu mengganggu.
Sebenarnya itu kurang masuk akal, lantas jemari Anya menekan ponsel genggam, upaya membalas utas pesan yang dikirim oleh Damian. Sebelum akhirnya bunyi ketukan di jendela menyita atensi.
Dok dok dok dok!
Mata sang gadis membulat dalam sejenak. Sekujur tubuhnya tak dapat bergerak, saraf dan ototnya membeku seketika. Skenario terburuk kedua yang ditakdirkan oleh Sang Pencipta untuk Anya Forger; menghadapi sebuah ketukan di jendela yang belum tertutupi kelambu, tepat pada jam tiga dini hari.
Entah apa yang telah diperbuat Anya hingga mendapat ketidakberuntungan di awal hari, yang hanya bisa Anya lakukan saat ini hanya berpikir. Puluhan pertanyaan mengatasdasarkan ketukan tersebut menghantui ruang angan. Salah satunya, siapa gerangan yang berada tepat tak jauh darinya?
Oh, astaga...
Jantung tak dapat dikendalikan layak semula, pikirannya kosong dirundung kepanikan. Lantas Anya meringkupi raga di dalam selimut, sesegera mungkin ia memejamkan mata supaya suara ketukan itu berhenti saat telah terlelap.
"Anya."
Mungkin sekarang ia akan semakin kesulitan untuk tidur selepas mendengar namanya disebut dari sumber ketukan. Takut yang semula sudah mendekap sang empunya kini semakin mengeratkan dekapan. Pemilik mahkota merah muda ingin meneteskan air mata. Dalam gelapnya penglihatan ia dapat merasakan perlahan sesuatu mengalir melalui pipinya.
"Anya!"
"Anya Forger!"
"Rambut aneh!"
Matanya seketika membulat dalam kegelapan. Baru disadari, intonasi dari sang pemanggil mirip dengan seseorang. Familiar. Rasanya penasaran, namun ketakutan masih melingkup erat relung hati.
Dengan secercah keberanian yang telah kembali, jemari empunya meraba-raba alas meja berupaya mencari senjata bila sewaktu-waktu ia bersitatap dengan penjahat yang hendak menerobos masuk ke dalam rumahnya.
Terima kasih pada semesta, jemari telah menemukan sebuah benda pipih yang dingin karena terpengaruh oleh pendingin ruangan. Yang bukan lain pastinya bahan dasar dari benda tersebut adalah aluminium atau besi. Bentuknya lumayan tajam, memiliki dua sisi yang dapat digerakkan apabila jemari menggerakkan bagian yang tertutupi karet.
Itu adalah sebuah gunting.
Dalam keheningan, perlahan Anya mencoba berjalan mendekati pintu balkon yang tersambung dari kamarnya. Di mana sumber ketukan berasal.
Memang berisiko, risiko yang diberikan pun besar. Bila ia gagal melakukan perlawanan dan penjahat yang berada di luar membawa senjata pula, bisa-bisa nyawanya melayang. Maka dari itu, muncul degupan keras dari dadanya.
Satu langkah.
Dua langkah.
Tiga langkah.
Jemari kirinya telah menyentuh pintu balkon yang belum terkunci. Artinya, figur telah dekat dengan sosok yang diberi notabene 'penjahat'. Entah apa yang kini ia rasakan, antusiame atau gugup? Secara Anya bisa menerapkan pelajaran bela diri yang ibunya ajarkan dalam kehidupan nyata, atau gugup karena ini pertama kalinya dan takut ia akan gagal sehingga nyawanya melayang?
Diam-diam, Anya mendorong pintu dan menyiapkan kuda-kuda supaya kemungkinan negatif terbantah oleh kenyataannya kelak. Lengannya terjerat lurus setelah melihat sosok tersebut berdiri di dekatnya.
Sebelum akhirnya jemari berhasil mencengkram pergelangan tangan.
"Kamu mau membunuhku?!" suara itu berbisik dengan lantang.
Sejenak jantungnya berhenti bekerja, sepenuhnya intuisi telah menganggap bahwasanya Anya akan berakhir di sini. Namun siapa sangka, di tengah gelapnya malam, temaram lampu jalan menerangi visual yang familiar.
"Ternyata kau?!" ucapnya tersentak.
Lawan bicara mengerjapkan mata berkali-kali, alis pun ikut berkerut menggambarkan betapa herannya ia. Mulut sang lawan berucap, "apa?!" dengan berbisik lantang untuk kedua kalinya.
"Aku mengira ada seseorang yang hendak menerobos masuk ke rumah!"
Yang di sana mengernyitkan alis, menjejal heran. "Aku tetanggamu, lho?"
"Mau tetangga atau bukan, tidak manusiawi namanya kalau datang ke rumah orang jam tiga pagi!"
"Yah, baik. Maka dari itu matikan ponselmu dan segera tidur, nanti kamu kuliah pagi, kan?"
Anya terdiam, mendayung dalam lautan pertanyaan di dalam angan.
"Kau kemari hanya untuk mengatakan itu?"
"Memang kau berharap apa? Menghabiskan semalam bersamaku sembari menatap langit malam?"
"Imajinasimu berlebihan, buku romansa mana lagi yang selesai kau baca?"
"Daripada berdebat lebih baik kalau kamu segera tidur, sana."
"Ya, kau juga cepat pergi."
Anya di sana menatap punggung Damian yang berbalut sweater hitam. Sosoknya dengan mudah melalui pagar yang menjadi penghalang kemudian kembali ke dalam rumah.
Anya tak paham atas dasar apa Damian yang memiliki notabene laki-laki jahil itu harus ke rumahnya dini hari lalu menyuruhnya tidur karena jam kuliahnya akan ada di pagi hari. Namun hal yang Anya sadari ialah, Damian mulai berperilaku berbeda padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𖥔 隣の人 ۪ ⊹ ˑ 𝗱𝗮𝗺𝗶𝗮𝗻𝘆𝗮
Fanfiction─┄ 𝐏ungut 𝐏roject 𝐏resent ࣪ ˖ 「 𝓔 」❝ Netra teduh itu berbahaya, laksananya mengunci pandangan kemudian menumbuhkan asmara dalam sukma. Ajaib. ❞ This book was written entirely by @R-EVERIE, all character ...