Pagi hari. Pukul delapan. Tiga ekor burung mengepak liar ketika seseorang menyeru dengan lantang. Yang namanya disebut menoleh ke belakang, ingin tahu keributan apa yang akan dimulai setelah ini.
"Apa, pendek?"
Yang pertama Damian lihat adalah wajahnya. Mata hijau Anya dan senyumnya yang membuat Damian berpikir bahwa ada kabar bahagia yang membuat Anya berapi-api seperti ini.
"Jam kuliahku diundur!"
Damian memutar seluruh badannya, hendak berpamitan dan tak menggubris apa yang Anya ucapkan.
"Ya, selamat. Aku pergi ke kampus dulu." lalu ia berputar balik.
Anya dengan sigap berlari ke depan, berniat menghadang Damian untuk pergi terlebih dahulu ke kampus. Tapak tilasnya membekas di atas ranah pekarangan rumah yang terhubung satu sama lain. Damian yang hendak melangkah ke depan terpaksa untuk berhenti.
"Kenapa, sih?"
Insan berusia 25 tahun di hadapannya mendesah pelan, ia sebenarnya sudah terbiasa diabaikan seperti ini oleh Damian. Anya terbiasa, karena Damian yang bersikap seperti itu sejak kecil, Anya tertarik untuk terus mendekatinya. Ia ingin mengetahui tentang Damian lebih dalam.
"Kamu tidak mau mengucapkan selamatmu dengan benar?"
"Itu sudah benar."
Geram. Anya menggerutu di hadapan Damian.
"Ah! Memang percuma basa-basi denganmu!" lalu Anya menyingkir dari tempatnya berdiri.
Masa-masa bermain sudah tertinggal di belakang. Mereka bukan lagi anak kecil yang menertawakan hal-hal kecil lagi. Mereka telah beranjak dewasa, tumbuh bersama dan terus bersama sejak dahulu membuat kedua insan ini sudah tak canggung satu sama lain.
"Ya, sudah. Berangkat saja sana." Anya berjalan menjauhi Damian, hendak kembali masuk ke dalam rumah.
Burung mengepak liar bersenandung mencipta nada sedemikian rupa. Yang di sana menyerukan nama, pemilik nama yang sedang dalam suasana hati yang jelek sejenak berhenti melangkah.
"Bagaimana dengan skripsimu?" tanya Damian memulai topik.
"Sedikit lagi masuk bab ketujuh, kenapa?"
"Oke, selesaikan dulu bab sebelumnya. Jam kuliahmu diundur sampai kapan?"
"Nanti malam."
"Selagi ada waktu, kerjakan skripsimu dulu, jika sudah, kamu bisa datang ke kafe setelah kuliahmu selesai."
"Untuk apa memangnya?"
"Sebagai apresiasi usahamu, ayo kita minum kopi sambil melihat langit malam."
✧
Tampias rembulan mencipta terang di lautan kegelapan malam. Berteman gemintang pula semilir angin yang hanyut bersama hilir-mudik manusia kota yang tak kunjung surut kepadatannya. Tak logis memang, hadir secercah harapan diri dihendaki untuk mencuri sebuah saja untuk tangan. Agaknya sang insan tak berhenti hanyut dalam khayal.
Diri melenggang masuk selagi bersenandung riang, ke dalam sebuah kafe dengan interior terindah dari segala kafe yang diri kunjungi.
Lonceng berbunyi tanpa sapa. Kepada siapa saja yang menyempatkan diri untuk singgah. Sekadar membeli kopi atau menikmati kopi langsung di mari, seperti yang dilakukan Anya saat ini.
Sama seperti sebelumnya, Anya datang pada waktu yang hampir menginjak jam sebelas malam. Bahkan khalayak datang kala suasana yang sama memenuhi ruangan, sunyi tanpa adanya pelanggan. Namun hal yang ia sadari ada eksistensi yang bernaung di bawah atap yang sama.
"Anya, 'kan?"
Ujung pandang kini tercuri, akan eksistensi cokelat yang ikut menyapa diri.
"Hazelnut latte hangat, ya."
"Aku bahkan tidak memintamu untuk memesan."
"Layani pelangganmu dengan baik, pelanggan adalah raja."
"Sayangnya aku mengajakmu datang kemari bukan untuk memasang status pelanggan dan barista, jadi aku bukan pelayan dari raja sekarang."
"Lalu sebagai apa?"
"Memangnya itu hal yang penting?"
Membuang pembicaraan sebelumnya, Anya sudah sadar itu yang dilakukan Damian. Kali ini ia tidak geram atau bahkan kesal, karena diri telah memutuskan untuk berbaik hati lantaran kendati memberi apresiasi yang jelasnya cukup mengejutkan untuk seorang Damian.
Pemuda itu berbalik, meracik entah apa di balik counter dan Anya bersinggah pada salah satu kursi dengan memegang salah satu buku yang terjajar di rak. Mungkin itu pesanannya.
Tak lama selepasnya Damian datang membawa secangkir kopi, ke hadapan Anya. Ia mengajak Anya untuk naik ke lantai atas sekarang juga, lantas Anya mengiyakan.
Tapak tilas membekas membekas bersama di atas anak tangga bernuansa cokelat. Beriringan. Sang gadis melangkah bersama dengan Damian sampai ia merasakan semilir angin malam menyentuh indera kulitnya.
"Duduk di sana." Ucap Damian memecah hening seraya menunjuk salah satu bangku yang sudah tertata rapi.
"Kopiku?"
"Aku yang bawakan saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
𖥔 隣の人 ۪ ⊹ ˑ 𝗱𝗮𝗺𝗶𝗮𝗻𝘆𝗮
Fanfiction─┄ 𝐏ungut 𝐏roject 𝐏resent ࣪ ˖ 「 𝓔 」❝ Netra teduh itu berbahaya, laksananya mengunci pandangan kemudian menumbuhkan asmara dalam sukma. Ajaib. ❞ This book was written entirely by @R-EVERIE, all character ...