Halaman Empat

2.5K 199 38
                                    

Hari minggu dan aku harus terbangun jam lima pagi karena kegaduhan yang berasal dari kamar sebelah. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, menoleh ke arah Dira yang masih tenang dalam tidurnya. Gadis itu berselimut sampai batas dagu, tubuhnya meringkuk seperti janin. Aku menghela napas, meski masih mengantuk tapi memutuskan untuk bangkit dari duduk dan melihat keadaan di luar. Maksudku, kamar sebelahku yang berisik itu. Bukan kamar Kazu dan Alice, tapi kamar Arin dan Ami yang tumben-tumbenan ribut sebelum matahari muncul.

"Ada apaan, sih?" aku keluar kamar sambil mengucek mata, memerhatikan sekitar sambil menguap. Menoleh ke kanan dan kiri, kemudian menemukan Ami yang tengah membenturkan kepalanya ke dinding kamar sambil menggerutu tak jelas. Tangannya bahkan sudah memukul kursi kayu berulang kali setelah berhenti membenturkan kepala.

"Ami kenapa?" aku menghampiri, duduk tepat di sebelahnya.

"Bunda ...," dia mengangkat wajahnya dengan ekspresi melas lalu memelukku dari samping. Iya, dia salah satu anakku dalam silsilah NPC. Adik kembar dari Arin, yang saat ini pasti masih bertualang di dunia mimpi. "Bunda, gimana dong ini?!" dia tiba-riba histeris.

"Kenapa toh Mi?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Aku ngucapin ulang tahun ke piiip!" harusnya dia tak usah mensensornya, karena seantero NPC pun sudah tau siapa yang dimaksudkan Ami.

"Ya terus kenapa? Bagus lah kamu ngucapin ke dia."

"Ta-tapi Bun, hueee."

Dia kembali memelukku. Aku menghela napas, memandang langit dari kaca transparan asrama NPC yang berada tepat di atas sepanjang taman kecil yang membentang di depan seluruh kamar. Dari sini indah sekali, tak perlu naik ke atap bisa langsung menatap langit berbintang. Telingaku menangkap suara dari sebelah kiri, membuatku menoleh dan menemukan Andhy dengan piyama yang masih melekat berjalan dengan wajah mengantuk. Matanya masih setengah terbuka, bahkan ketika lewat di depanku dia menguap lebar.

Saking ngantuknya, Andhy tak sadar kalau kaki Ami yang terjulur ke tengah jalan. Dalam sekejap, pemuda itu tersandung. Lalu detik kemudian, cowok itu terjerembab. Ami berhenti menangis karena debuman keras. Aku langsung bangkit dan menghampiri Andhy.

"Andhy!" Ami yang berteriak, aku hanya mengguncang pundak pemuda itu.

"Huahahaha Andhy ngapain sih?!" itu suara Vio, dengan setelan olahraga lengkap dia tertawa menunjuk-nunjuk Andhy yang tengah meringis.

"Olahraga, Vi?" aku bertanya tepat setelah Andhy duduk sambil menyentuh keningnya yang memerah. Pemuda itu sepertinya belum sadar sepenuhnya. Buktinya dia hanya menggumam tak jelas, kemudian bangkit dan berjalan pergi meninggalkan kami.

"Vio! Kejar Andhy! Nanti dia melakukan hal aneh!"

Aku malas mengejarnya, makanya menyuruh Vio yang memang ingin olahraga pagi. "Siap, Bunda!" serunya sambil menyipitkan mata, kemudian memasang kuda-kuda dan berlari menyusul Andhy yang berbelok menuju kolam renang.

Tak lama Vio lewat, pintu di seberang kamar Ami terbuka sedikit. Dari dalam menyembul kepala Aniq dengan mata yang masih mengantuk. Rambut gadis itu berantakan, beberapa bagiannya naik ke atas dan ada yang nyempil juga di mulut. Sambil mengerjapkan mata, Aniq keluar dan duduk di bangku depan kamarnya. Beberapa saat dalam keheningan, matanya baru sadar akan keberadaan aku dan Ami yang berdiri tepat di seberangnya.

"Pagi," sapanya sambil mengucek mata, lalu menarik rambutnya yang hampir terkunyah. "Kalian berdua ngapain pagi-pagi begini di luar?"

Aku dan Ami hanya tersenyum singkat, kemudian Ami memutuskan untuk masuk ke kamar untuk kembali tidur. Setelah berdadah ria dengan Ami, aku menghampiri Aniq. Tepat ketika aku berada di depan pintu kamar Aniq, Anny keluar kamar dengan kacamata hitam andalannya. Iya, mereka berdua satu kamar.

Nusantara AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang