[06/13-06/19] Good End

2 0 0
                                    

Orang bilang, "Semua berhak atas akhir yang bahagia." Ada pula yang berkata, "Bukan akhir namanya jika tidak bahagia." Sebagian berujar, "Akhir bahagia itu pasti akan datang." Pada intinya, mereka percaya bahwa kebahagiaan itu nyata adanya.

"Kau menangis," lirik sosok pria dalam dekapanku. Sekujur tubuhnya penuh luka, kulit yang terlalu lama terkena matahari berubah pucat pasi, sebab darah yang keluar tanpa henti.

"Aku tidak," dustaku, suara tercekat menahan derai air mata.

"Jangan," larang Eustace. Entah melarangku untuk bersedih, untuk menangis, atau untuk tetap berharap pada sebuah akhir bahagia di antara kita. "Aku tidak akan bisa pergi dengan tenang jika melihatmu seperti ini," sambungnya, setiap kata perlu jeda lantaran kesadarannya yang berada di ambang nyata dan fana.

"Kalau begitu, jangan pergi," kini giliranku melarangnya. Terdengar bodoh, tapi persetan dengan itu semua. "Jangan pergi, Eustace. Jangan. Jika kaupergi, lantas bagaimana dengan akhir bahagia kita? Duniaku tidak akan bahagia tanpa kau hidup di dalamnya," kataku tanpa lagi mampu menahan air mata.

Aku terisak, kedua tangan berusaha merengkuhnya dekat tanpa menambah rasa sakit dari luka yang menganga. Mustahil. Aku tahu itu. Gerakan sekecil apapun pasti membuat tubuh Eustace berteriak penuh lara.

"Akan ada akhir bahagia untuk kita," mulutnya bergerak pelan, setiap kata semakin lirih terdengar, "Tapi, tidak untuk kita di semesta ini. Tidak saat ini. Namun, lain kali. Pasti."

Itulah kalimat terakhirnya sebelum kedua bola mata miliknya tertutup rapat. Eustace telah pergi. Tubuhnya berada dalam dekapanku. Sedangkan jiwanya telah direngkuh oleh Kematian.

Weekly PromptsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang