3. Berbeda

13 2 2
                                    

"Jangan berpaling, yakinkan dirimu apa yang kamu rasakan saat ini."

***

Masih saja kupandangi handphone ku sejak siang sambil melihat pesan tadi. Apa langsung ku balas atau nanti saja? Memikirannya saja sudah membuatku pusing. Maklum karena ini pertama kalinya aku berdebar mendapat pesan dari teman laki-laki.

Handphone ku berbunyi lagi, namun kali ini bukan pesan melainkan telepon. Kulihat lagi ternyata nomornya sama. Apa ini telepon dari Andara?

"Halo, ini siapa?" Aku pun merebahkan tubuhku di kasur dan menarik selimutku.

"Masih nanya juga? Emang ada orang lain lagi yang mau ngajarin kamu gitar?" Suaranya sangat khas. Ini jelas Andara.

"Ini Andara? Dapat nomorku darimana? Nggak bisa ngomong di kelas aja besok? Harus ngirim chat dan telepon?"

"Ih Kepo banget. Kalau pengennya ngomong sekarang? Masa iya harus ketemu di sekolah dulu." Andara semakin memperlama pembicaraan. Jantungku semakin berdebar.

"Ya udah. To the point aja, aku kapan aja boleh diajarin gitar. Aku mau beli gitar dulu."

"Iya nanti aku anter beli gitar. Sekarang tidur ya udah malam. Maaf nelpon malam-malam. Kamu sih nggak balas chat ku."

"Iya cerewet banget." Langsung ku matikan telepon darinya. Aku merasa wajahku memerah saat ini.

***

Pagi pun datang tak terhindarkan. Aku kembali dengan rutinitasku. Kulihat sekitar semua murid sudah siap dengan buku pelajarannya sedangkan aku masih sibuk memikirkan jantungku yang berdebar kemarin malam saat menerima teleponnya.

"Je, tadi dicari Andara katanya mau diajarin gitar." Dinda tiba-tiba nyeletuk disampingku.

"Hah? Gitarnya aja belum ada gimana mau belajar."

"Dia bawa gitar tadi. Emang kamu minta diajarin Andara main gitar? Maju selangkah juga sahabatku ini." Ujarnya lagi sambil mencubit pipiku.

"Eh awas lo baper nanti diajarin gitar." Sara ikut menggodaku. Aku hanya tersenyum tanpa menjawab.

Saat jam istirahat aku keluar kelas menuju toilet. Kulihat kelas sebelah, Andara sedang bermain gitar dan bernyanyi bersama teman-temannya. Andara mengetahui keberadaanku dan langsung menghampiriku.

"Jean, tunggu!" Aku pun terhenti sejenak dan menoleh ke arahnya.

"Jadi aku ajarin gitar? Nih aku bawa gitar." Sambil menunjukkan gitarnya.

"Tunggu aku punya gitar dulu deh."

"Mau aku anter beli?"

"Nggak usah, nanti sama papaku aja. Aku ke toilet dulu."

Aku berjalan menuju toilet sambil menyentuh dadaku yang tidak hentinya berdetak. Mungkin karena perasaan kagumku saja melihat laki-laki yang bisa bermain gitar.

***

Pulang sekolah aku langsung meminta papaku untuk mengantar membeli gitar. Pertama kalinya aku merasakan menggebu-gebu seperti ini dan sebenarnya mustahil terjadi kepada orang yang cuek sepertiku.

"Pa, anter beli gitar yuk."

"Hah? Mau ngapain? Mau ngamen? Bekal papa kurang?" Papaku malah tertawa renyah.

"Mau belajar gitar pa. Ayolah." Ku tarik tangan papaku yang masih sibuk dengan handphone nya.

"Iya papa anter. Ma, anakmu mau beli gitar nih ada angin apa ya?" Ujarnya lagi sembari mengambil kunci mobilnya.

Kami pun menuju toko. Di tengah perjalanan kami berbincang banyak hal. Papa juga menanyakan apa aku sedang suka dengan seseorang? Kenapa begitu tiba-tiba? Apa terlihat jelas? Apa aku menyukai Andara? Semudah itu?

"Kenapa mau beli gitar? Karena seseorang ya?"

"Ada teman pa mau ngajarin aku main gitar."

"Cowok ya? Kamu lagi jatuh cinta nih?" Aku apontan mencubit lengan papa. "Nggak pa!"

"Kalau cinta jangan dipendam terus nanti cintanya nggak kesampaian loh!"

"Udah pa. Jangan dibahas lagi."

Papa hanya tersenyum dan aku masih menyangkal kalau perasaan ini bukan sekedar kagum. Handphone ku kembali berdering, kulihat isi pesannya, "ingat beli gitar. Aku tunggu."

***

Kubawa gitarku ke sekolah dengan harapan aku benar-benar diajari gitar. Ku naiki tangga demi tangga dan kulihat Andara berdiri di depan kelasnya. Ia menatapku dan menuju ke arahku.

"Gitarnya bagus. Nanti latihan di kelasmu aja ya."

"Oke aku tunggu." Kubawa gitarku menuju kelas dengan senyum lebar.

Dinda dan Sara terlihat kebingungan melihatku yang tiba-tiba membeli gitar dan langsung membawanya ke sekolah. Begitu pun dengan teman sekelas lainnya. Mereka pasti ingin bertanya tapi tidak enak denganku.

Kelasku pun menjadi ramai setiap jam istirahat karena aku yang sedang sibuk berkutat dengan gitar. Aku merasa apa aku benar-benar ingin belajar gitar? Atau aku hanya ingin terus melihatnya dari dekat?

***
To be continued! Stay tuned!🤍

WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang