7. Overthinking

16 2 1
                                    

"Jangan cemaskan hari esok. Semua akan ada jalan keluarnya."

***

Tiga hari telah berlalu. Kakiku sudah mulai membaik. Ternyata benar hanya terkilir dan aku harus melakukan fisioterapi. Hari ini aku mulai beraktivitas kembali. Saat aku memasuki kelasku, kudapati Andara sudah duduk di meja Dinda. Kulihat roti dan susu di tangannya.

"Jean. Selamat pagi." Dia menyapa sambil melambaikan tangan. Dia pasti sudah menungguku daritadi. Aku membalas senyumannya.

"Nih dimakan dulu roti sama susunya. Kamu pasti nggak sempat sarapan."

Aku memang jarang sarapan karena sering telat masuk sekolah. Hari ini pun jam sudah menunjukkan 06.58 wib. Hanya 2 menit lebih awal.

"Makasi ya Andara." Sahutku dan langsung duduk di mejaku.

"Ya udah aku kelas dulu ya." Aku mengangguk. Disentuhnya kepalaku lagi.

Kulepas tasku dan kutaruh di kolong meja. Kulihat kolong mejaku ada roti dan susu juga. Aku menoleh ke belakang. Angga tersenyum padaku. Ini dari dia? Untuk apa? Langsung ku hampiri ke mejanya.

"Dari kamu?" Kusodorkan roti dan susu cokelat itu.

"Iya. Kenapa? Kamu nolak punyaku dan makan punya Andara?" Sahutnya. Raut wajahnya berbeda. Memancarkan kekecewaan.

"Makasi Ngga. Nanti siang ku makan." Kutarik kembali roti dan susu cokelat darinya.

Pertanyaan macam apa itu. Seolah menjebak. Teman-teman disekitar tersenyum seolah menggodaku. Aku tetap berjalan lurus menuju mejaku dengan wajah yang datar.

***

Dinda dan Sara menemaniku yang sedang melahap dua roti dan dua susu cokelat. Mereka bertanya tadi mengapa tiba-tiba dua orang ini mendekat. Aku akan memilih siapa katanya. Aneh. Mereka sama sekali tidak bilang cinta padaku, tapi aku disuruh memilih.

"Nya, nanti latihan kan?" Dinda memulai pembicaraan.

"Iya latihan kan?" Sara ikut bertanya. Aku hanya mengangguk.

"Nanti aku jemput deh. Kita bareng aja berangkatnya." Ujar Dinda lagi.

"Boleh. Kita udah lama nggak bareng." Jawabku penuh semangat.

"Bagus. Biar kamu nggak ngintip orang latihan lagi." Dinda menggoda.

Kemarin Dinda dan Sara datang ke rumahku. Khawatir katanya. Kuceritakan semua yang terjadi. Mereka hanya bertanya satu hal, apa aku suka sama Andara? Jawaban dari bibirku masih sama. Tidak. Aku masih belum bisa jujur dengan mereka.

***

Latihan futsal pun dimulai. Aku mulai berlari kesana kemari. Belajar menggiring bola dan cara bekerjasama dengan tim. Kulihat sekitar lagi. Ternyata Andara tidak latihan futsal hari ini.

"Ayo Je. Lari lebih kenceng." Sorak Dinda dari samping lapangan.

"Ayo! Ayo!" Sorak Sara dan rekan tim yang lain melihatku belajar menggiring bola.

"Capek." Jawabku sambil tertawa. Aku duduk di atas rumput yang hijau dengan kepala tertunduk.

Saat ku angkat kepalaku. Kulihat Angga sudah berdiri di depanku dan menyodorkan air minum. Kuraih air minumnya.

"Makasih ketua kelas." Segera ku minum air itu.

Kebetulan Angga ikut lomba futsal cowok. Dia kapten tim. Hari ini dia latihan juga dengan timnya. Angga jago futsal. Saat kelas 10, kelas kami memenangkan futsal cowok.

"Jean, kalau timku menang. Mau nggak makan bareng sama aku? Aku traktir." Pertanyaan yang tiba-tiba dari Angga.

"Kalau timku menang, kamu harus makan bareng sama aku." Andara muncul dari arah samping.

"Bukannya tadi dia nggak ada?" Tanyaku dalam hati.

Raut wajah Angga tiba-tiba berubah kesal. Aku hanya diam dan menatap mereka satu per satu. Langsung ku jawab.

"Terserah kalian." Aku langsung meninggalkan mereka menuju ke pinggir lapangan.

Kulihat dari jauh mereka berdebat. Kenapa tiba-tiba begini? Apa aku yang terlalu percaya diri kalau mereka memperebutkan aku? Siapa yang akan menang futsal cowok nanti?

***

"Ma, aku lapar!" Aku merebahkan diri di sofa ruang tamuku yang empuk. Aku menghela napas panjang setelah melewati latihan yang cukup berat.

"Ayo sini ke meja makan. Makanan siap." Panggil Mama yang sedang menyiapkan makanan di meja makan.

Kulihat ayahku yang sudah stand by duduk di meja makan sambil sibuk dengan handphone nya. Terlihat sangat serius.

Kami pun berkumpul di meja makan. Mama memang paling jago memasak. Seharian bisa dihabiskan waktunya di dapur.

"Calon pacar kamu Andara, kapan kesini lagi? Minta nomor teleponnya dong." Papa langsung menohokku dengan pertanyaan. Aku tersedak dan langsung mengambil air minum.

"Yah baru nanya gitu aja udah kesedak?" Ledek Papa. Aku meraih sendokku kembali.

"Sahabat pa." Sahutku ketus.

"Pinjam handphone dong, Je. Papa nggak ada kuota." Kuserahkan handphone ku. Saat itu juga handphone ku berbunyi.

"Halo Andara." Papa menyebut namanya.

"Astaga pa. Sini bawa hp ku, pa." Aku berusaha merebut handphone ku yang masih digenggaman papa.

"Minggu depan abis lomba kesini ya. Tante mau masak besar. Oke?"

"Pa, please! Give me my phone!" Aku berhasil merebut handphone ku. Tapi teleponnya ternyata sudah dimatikan.

"Pa, Andara jawab apa?"

"Ada deh." Papa kembali melanjutkan makannya. Mama hanya tertawa tanpa bicara apapun.

Kupasrahkan saja esok hari. Otakku tetap bekerja sangat keras, memikirkan apa jawaban Andara tadi. Belum lagi tentang taruhan mereka. Angga dan Andara. Sungguh malam yang berat. Aku pasti terjaga malam ini.

***
To be continued! Stay tuned🤍

WaitingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang