Cerita 1

1.5K 32 8
                                    

"Buah Cinta Darimu"

Pandangan mataku lama tak teralihkan dari sana, memperhatikan ia yang seorang diri larut dalam dunianya saat itu.

Bocah tampan dengan mata indah itu tampak tengah khusyuk. Tangan kecilnya terangkat, bibirnya nampak bergerak-gerak, berkata lirih entah apa. Yang kupahami ia nampak sedang berdo'a.

Aku berfikir tentang do'a apa yang tengah ia panjatkan kepada Tuhannya itu. Tangan kecil itu sesekali mengusap pipinya yang basah. Menangiskah ia ?? Sepertinya ia tak menyadari kehadiranku di teras musholla sekolah ini beberapa waktu yang lalu. Aku yang hendak buang hajat di WC sebelah musholla hingga kembali darinya, si bocah nampak belum juga menyelesaikan doanya.

Anak yang kutahu bernama Raka itu duduk di bagian depan garis penanda shaf. Sekarang ia tampak terkejut dan juga mungkin sedikit malu saat menoleh ke belakang dan mendapatiku tengah memperhatikannya dari luar musholla.

"Bapak baru aja dateng. Raka lagi berdo'a ya? Apakah bapak mengganggu?".
Sedikit berbohong pada anak manis itu. Dikhawatirkan ia malu atau segan padaku.

"Eh, nggak kok, pak. Raka sudah selesai".

"Raka pulang dulu ya, pak". Pamitnya.

Langkahnya tergesa meninggalkanku yang termangu. Lagi-lagi benakku menerka do'a apa yang tadi dilangitkannya? Sepertinya Raka tengah bersedih saat berdo'a. Memangnya hal apa yang membuat anak kelas satu SD bersedih sampai menangis seperti itu? Ah, bocah itu membuatku penasaran saja.

.

Lima bulan sudah aku menjalani hari-hari sebagai salah satu tenaga pengajar di sekolah ini. Masih baru, masih perlu banyak belajar. Terutama belajar bagaimana agar bisa dengan baik berinteraksi dengan semua anak didikku. Belajar bagaimana memahami karakter unik setiap anak dan cara terbaik menghadapinya.

Ternyata menjadi wali kelas bagi tiga puluh siswa di kelas satu SD bukan hal yang gampang. Karakter yang beragam dari anak-anak kadang membuatku cukup keteteran. Setiap hari ada saja kejadian unik di dalam kelas yang membuatku geleng kepala dan mengusap dada yang berakhir dengan helaan napas panjang. Terlebih aku yang seorang pria mesti berhadapan dengan beragam karakter bocah membuatku sedikit kikuk. Entah kenapa kepala sekolah mempercayakan kelas satu ini kepadaku untuk menjadi wali kelasnya. Biasanya yang menjadi wali kelas untuk kelas satu itu guru perempuan, mereka terbukti lebih pandai dalam menghadapi puluhan anak-anak yang baru kenal bangku sekolah itu.

Kemarin, aku melerai perkelahian dua anak laki-laki yang berebut karakter hero jagoannya. Salah satunya menangis dengan tangan yang luka bekas gigitan.

Kemarinnya lagi, anak perempuan yang duduk di bangku paling depan menangis karena teman sebangkunya tak mau meminjaminya penghapus.

Sebuah suara sapaan membuyarkan lamunanku.

"Pak Rama belum pulang? Kelas asuhan bapak bukannya sudah pulang dari tadi ya, pak?". Pak Budi, rekan seprofesiku di sekolah ini tampak sudah bersiap untuk pulang.

Pak budi yang juga merupakan wali kelas enam merangkap guru agama. Jarum pendek pada jam weker kecil di mejaku menunjuk angka dua siang. Jam pelajaran tambahan kelas enam pasti sudah berakhir.

"Iya pak, ini saya juga mau segera pulang. Memeriksa tugas anak-anak dulu. Ini baru saja kelar". Kubereskan tumpukan buku gambar yang isinya adalah coretan karya anak-anak tadi pagi di kelasku.

Sempat tertegun pada satu gambar menarik dengan nama Raka Saputra di bagian atas kertas. Gambar dirinya sendiri diapit oleh gambar dua orang dewasa yang ia beri nama 'kakek dan nenek'.

Hari ini aku tugaskan anak-anak agar menggambar tentang diri mereka beserta keluarga yang ada di rumah. Nyaris mereka semua menggambar orang tua mereka masing-masing. Kecuali murid yang bernama Raka.

Hanya Sebuah CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang