"Melepaskan"
Canda tawa dan juga obrolan terdengar dari ruang keluarga. Suara kedua orang tuaku dan juga seorang wanita muda yang hampir setengah tahun belakangan memberikan suasana berbeda di rumah ini terdengar akrab satu sama lain.
Langkah kakiku terhenti. Kuusap bulir keringat yang membasahi wajah lalu kembali berjalan menuju kamarku.
Aku mendapati beberapa helai pakaian santai terlipat rapi di atas kasur. Tak berselang lama terdengar suara derit pintu yang dibuka.
"Bang?"
Aku menoleh hingga kudapati seorang wanita muda mendekat.
"Udah selesai bersih-bersih halaman rumahnya ?" Ucapnya.
"Iya." Jawabku seraya mengulum senyum tipis.
Aku berjalan ke arah nakas, seraya meraih ponsel yang tergeletak di sana.
"Tadi bang Rian ada nelpon," ucapnya sambil membuka lemari pakaian dia dalam posisi membelakangiku.
Kurasakan napasku sedikit tercekat. Ada rasa tak enak hati yang langsung menguasai dada ketika membicarakan orang yang namanya disebut tadi. Segera kulihat riwayat panggilan masuk ke dalam ponselku terutama yang terakhir.
Rian. Sekitar setengah jam yang lalu.
"Nisa mohon maaf telah lancang ngangkat telpon yang seharusnya untuk abang tadi. Soalnya tadi terus berdering jadi Nisa kira ada sesuatu yang penting." Ucap wanita muda bernama Nisa itu seraya berbalik badan usai menutup pintu lemari pakaiannya.
Kami berdua kini saling berhadapan. Ada seulas senyum yang tercipta di bibirnya. Kutelisik gurat di wajahnya itu, tak kudapati rona yang lain selain wajahnya semakin manis karena senyumnya itu.
Kutarik napas perlahan seraya memutus pandangan mata padanya. Kuletakan kembali ponsel yang tadi dalam genggaman di atas tempatnya semula.
"Ehmm, Rian tadi ngomong apa saja sama kamu, Nis ?"
Nisa berjalan mendekat lalu berhenti beberapa langkah di hadapanku.
"Gak banyak, hanya ngingetin aja katanya. Kalau hari ini abang ada janji ketemuan sama dia, mungkin urusan pekerjaan seperti biasanya."
Nampak tak ada yang aneh dari kalimat yang disampaikan oleh Nisa itu. Namun hatiku mencelos, karena kutahu bahwa sesungguhnya panggilan itu pastinya bukanlah tentang urusan pekerjaan. Sesuatu yang menjadi rahasia antara aku dan pria yang bernama Rian itu. Pria yang kukenalkan sebagai teman kerja pada Nisa.
Aku menghela napas. "Ada lagi yang dikatakan Rian ?"
"Tidak ada bang, itu saja.."
Aku menatap wajahnya cukup lama untuk mencari gurat wajah lain di sana, namun lagi-lagi tak kutemukan. Dalam hati ku berharap, semoga memang tidak ada hal aneh yang dibicarakan oleh Rian pada Nisa lewat telpon tadi.
Nisa kini melangkah lebih dekat padaku.
"Ada sesuatu yang ingin Nisa sampaikan ke abang" ucapnya.
"Hmm, mau menyampaikan apa Nis ?"
Sunyi, tak ada kata.
Entah kenapa tanya dariku tak segera ia jawab. Nisa menghela napas, kutangkap ada sedikit raut keraguan di wajah wanita usia 22 tahun itu.
"Ada apa, Nisa ? Ada sesuatu yang mengganjal di hatimu ?"
Tanyaku khawatir karena memperhatikan sikapnya. Khawatir kalau wanita di hadapanku ini mengetahui sesuatu hal yang selama ini kusembunyikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Sebuah Cerita
Historia CortaKumpulan cerita yang tentu saja hanya imajinasi belaka. Terkadang secara eksplisit menggambarkan hubungan SESAMA JENIS, atau hanya tersirat saja.. Terkadang mengandung kalimat atau adegan vulgar. Jadi, ini lebih tepat disebut sebagai bacaan dewasa...