"Rinso udah ... odol, sabun badan, sabun ... sabun apa sih, oh sabun cuci muka belum!"
Malam itu, setelah kerja part time di toko bunga aku pergi ke swalayan untuk belanja bulanan. Biasanya aku ke sana sore hari, sekitar jam empat. Namun, karena lelah, aku ketiduran sampai adzan Maghrib.
"Apa lagi ya yang belum?" Aku gigit bibir, berusaha mengingat apa yang belum kubeli. Kebiasaanku saat berbelanja adalah aku tidak pernah mencatat apa-apa yang ingin kubeli. Dan di saat seperti ini, aku menyesalinya.
"Nyari ini?"
"Eh?" Aku berbalik. Saat melihat seseorang yang menaruh sebungkus permen yupi ke dalam troli, kuyakin wajahku pucat pasi.
Mahesa ....
Aku diam seribu bahasa. Mahesa sama diamnya dengan aku. Kami hanya saling tatap, menelisik mata lawan untuk tahu di balik mata itu ada apa.
Ini gila.
Lebih gila dari momen-momen yang kubayangkan ketika harus berhadapan dengan Mahesa. Ini terlalu mendadak, aku bingung harus bagaimana. Aku belum menyiapkan apa pun, bahkan nyaliku tinggal seujung kuku.
"Ternyata bener, kamu nggak di Solo," katanya satir.
Aku membuang pandang, tidak ingin menatap Mahesa apalagi matanya.
"Sekolah di UNY, 'kan?" tebaknya dingin.
Mendengar tebakannya yang jitu, aku mendongak, menatap Mahesa penuh tanda tanya. "Tahu dari mana?"
Aku tidak tahu, jenis tatapan apa yang sedang Mahesa layangkan sekarang, tetapi aku tahu, ada kekecewaan yang begitu besar di dalam sana. "Waktu tadi sore aku ke toko bunga, ada laptop di meja kasir. Di atasnya ada buku novel karya kamu dan makalah. Sampul makalahnya logo UNY."
Tubuhku membeku.
"Awalnya kupikir novel dan makalah itu punya penggemar kamu, Ca. Tapi penjual bunganya sempet ngobrol sama bagian kasir. Dia nanya, di mana Anca? Dan firasatku langsung tertuju ke kamu. Kamu tahu, Ca? Yang namanya Anca itu banyak, tapi takdir nggak bisa terus-menerus bantu kamu sembunyi dari aku."
Aku menunduk, memejamkan mata erat, menahan gejolak dalam dada. "Maaf, Sa."
Mahesa mengembuskan napas berat. "Buat apa?"
"Buat semuanya ...."
"Nggak, maksudku, buat apa kamu bohong?" Mahesa menarik daguku agar menatapnya.
Dari tempatku berdiri, aku melihat perempuan yang selalu menemani Mahesa, Kartika namanya. Aku sering mendengar Mahesa memanggilnya begitu—Kar? Tika? Atau Kartika—kadang. Entah apa hubungan keduanya, tetapi kurasa lebih dari teman dekat.
"Ada baiknya kamu balik badan, Sa. Pacar kamu nyariin." Aku hendak meloloskan diri, tetapi Mahesa tidak memberiku jalan.
"Kamu ketolak di UNS? Makanya kamu bohong?" Dia mencengkeram lenganku. Tidak sakit, tetapi pertanyaannya yang menyakitkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
After (✔)
Short Story[L e n g k a p] Katanya, saat usiamu tujuh belas tahun, kamu akan bertemu dengan seseorang yang bisa membuatmu jatuh bangun menyukainya. Tujuh belas tahun, usia emas untuk merasakan cinta. Usia emas untuk melihat mimpimu di depan sana. Kata...