1

724 75 5
                                    

"Anjiran, mobilnya jangan ditabrak!"

Di tengah cuaca siang yang panas, Winata Denallie banjir keringat akibat merasakan ketegangan ekstra. Chelsea Griselda yang dengan sembrono membawa skuter membelok tajam menghindari mobil yang hanya berjarak beberapa langkah saja di depan.

Wina hanya bisa menghela napas. Padahal selama bertahun-tahun mereka pulang dan pergi sekolah bersama. Di atas skuter yang sama serta cara mengemudi Gisaㅡbegitu panggilan Chelsea Griseldaㅡyang bar-bar. Tak terhitung sudah berapa kali keduanya hampir jatuh atau menabrak kendaraan lain. Wina masih belum bisa terbiasa.

Gisa bergerak gelisah di peluk erat oleh Wina yang ketakutan. Ia sudah cukup kegerahan dan ingin merasakan angin jalanan. Ditepisnya tangan Wina yang melingkar di pinggang seolah mencekik Gisa.

"Lepasin ah, gerah!" gerutunya.

Yang kemudian pelukan itu terasa semakin erat ketika Gisa kehilangan kendali beberapa saat. Untungnya ia lebih mahir mengendarai skuter dari pada kendaraan lain, menurut pengalamannya yang sudah pernah merasakan jatuh bangun bersama benda itu.

Keringat Wina semakin bercucuran. Rasanya berjalan lebih baik dibanding membonceng skuter dengan Gisa yang ugal-ugalan.

"Lo yang bener nyetirnya!" tegur Wina perlahan-lahan melepaskan pelukannya. "Sini gue aja yang nyetir."

"Eits, nggak bisa. My skuter my rules."

Wina mencibir. Kalau ada sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dari Gisa, maka jawabannya adalah skuter.

"Masalahnya lo bawa nyawa, Gi."

"Berisik ah. Palingan lecet-lecet doang kalau jatuh."

Gisa tidak mempedulikan kerisauan Wina. Toh, selama mereka berboncengan skuter bertahun-tahun lamanya tidak pernah jatuh. Hanya 'hampir' saja. Gisa seratus persen yakin mereka aman. Helm dan pelindung kaki yang mereka kenakan sudah menjamin selamat.

"Ya jangan sampai jatuh. Gimanapun lecet-lecet tuh juga sakit."

Telinga Gisa panas mendengar omelan Wina. Kemudian disadarinya selama ini ia selalu mendengar omelan Wina yang lain. Gadis itu terlihat tidak banyak bicara, tetapi bila sudah menempel pada Gisa di skuter, mulutnya berubah menjadi semacam rekaman berulang yang tidak mau diam.

Bagaimana bisa keduanya berakhir berteman baik? Gisa mencoba mengingat-ingat. Tetapi ia merupakan orang dengan memori jangka pendek, singkatnya pelupa. Dan tentu kejadian yang sudah lama seperti pertanyaannya di atas sudah terlupakan.

Gisa merupakan orang yang ramah. Ia mudah berbaur dengan siapapun tanpa malu-malu. Jenis teman periang dan ribut yang akan sulit kalian lepaskan jika sudah akrab. Yang jelas keduanya menjadi dekat sebab keramahan seorang Gisa.

"Beli telur gulung ya, Win," ucap Gisa. Tanpa persetujuan Wina sudah meminggirkan skuter mendekati penjual telur gulung langganannya.

"Lo nggak ada niat traktir gue?" tanya Wina menggoda. Ia tahu Gisa orang yang murah hati, siapa tahu bercandaannya barusan diseriusi.

"Satu tusuk, ya."

Wina mendengus seraya memutar bola matanya malas. Gisa hanya tertawa, namun sungguhan memesankan sejumlah telur gulung untuk Wina.

Mereka duduk di kursi yang disediakan. Menatap berbagai kendaraan berlalu lalang. Hari ini sedang panas bukan main. Gisa memikirkan hendak membeli es cendol di dekat rumah nanti. Ia mengeluarkan ponselnya, mengetik pesan kepada Elenaㅡadiknyaㅡuntuk menawarkan es.

"Lo dengar soal virus zombie nggak?" Wina membuka percakapan. Mengingat berita tadi malam tentang gejala penyakit aneh yang menimbulkan kanibal pada penderitanya, Wina menyebutnya virus zombie.

Get Away Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang