1. Bandung, 16 Mey 2007.

31 6 14
                                    

"AKU AKAN MEMBAWA HILAR!"

Perempuan paruh baya itu berteriak sembari membawa Hilar ke gendongannya. Tubuhnya bergetar dengan nafas tersenggal senggal.

Sudah terhitung ribuan kali pasangan muda ini bertengkar dikarenakan ekonomi. Umur pernikahan yang masih berjalan 7 tahun, beberapa kali hampir kandas karena ego masing masing.

"BAWA SAJA BAWA SAJA! AKU TIDAK SANGGUP MERAWAT ANAK NAKAL INI." Sahutnya tidak kalah kencang.

Hilar kecil berusia 5 tahun itu meringkuk terisak isak, tangannya ia lingkarkan semakin erat di leher sang ibunda.

"Bun..." Cicitnya.

"Tidak apa apa Hilar, kita hidup tanpa ayah mulai sekarang, Hilar tidak masalah kan sayangnya bunda?" Tutur Bunda lembut. Hilar turun dari gendongan Bunda. Mata kecilnya mengerjap ngerjap dan tangannya mulai mengusap air mata yang masih tersisa.

Si kecil Hilar berbalik badan menatap pintu yang terbuka, setelah mengatakan jika Hilar anak nakal, lelaki kelahiran 1980 itu benar benar pergi meninggalkan dirinya dan ibunda sendirian.

"Hilal nakal ya bun? makanya ayah pelgi?" Tanyanya.

Masih berusia 5 tahun, Hilari Dananjaya bahkan belum bisa mengucapkan huruf 'r' dengan benar. Namun anak kecil itu telah menjadi saksi bisu pertengkaran kedua orang tuanya dan bahkan memutuskan berpisah tanpa memikirkan kehidupan anak semata wayangnya.

Bunda mengulas senyum lembut, tapi terlihat sakit. Perempuan itu berjongkok, mensejajarkan tingginya dengan Hilar.

"Tidak dong, ayah hanya emosi Hilar." Tutur Bunda.

Hilar menggembungkan pipinya sembari mengeryitkan alis keheranan.

"Benalkah bunda?" Tanyanya.

"Heem." Jawab bunda, tangannya mengelus pucuk kepala anak yang menjadi korban dari keegoisannya.

Andaikan, andaikan saja bunda tidak menutup telinga saat semua orang berkata bahwa lelaki yang kian menorehkan luka dalam kepadanya dan Hilar ialah lelaki brengsek tanpa hati.

Andaikan bunda mendengarkan apa kata orang tuanya, untuk kembali memikirkan menikah dengan lelaki bangsat yang sekarang masih berstatus sebagai suaminya.

Andaikan dulu bunda lebih memilih mengejar cita-cita daripada cinta.

Andaikan dulu bunda tidak termakan rayuan manis ayah seolah olah ia perempuan paling beruntung di dunia.

Andaikan, andaikan, andaikan.

Seberapa banyak penyesalan yang semakin hari menggerogoti jiwa bunda?

Sekarang hidupnya tidak lebih buruk dari seorang perempuan yang terus berandai andai.

Hilar korban, ayah pelaku, bunda pilihan.

Seorang lelaki pemabuk tempramental yang tidak berhenti berjudi tanpa memikirkan keadaan ekonomi keluarga.

Seorang kepala keluarga yang harusnya berkewajiban mencari nafkah untuk bertanggung jawab atas perempuan yang dinikahinya.

Seorang lelaki brengsek yang hidup tidak jauh dari seorang penggoda, mencari jalang untuk memuaskan hasratnya.

Dia bahkan tidak pantas disebut ayah.

Lebih pantas disebut bajingan.

"Hilal benelan nakal ya bun? Kok bunda nangis lagi?" Tanya anak kecil yang tidak paham akan kejadian.

Bunda mendongakkan kepala ke atas sembari tertawa hambar.

Bunda manis jika tertawa, matanya hilang ikut terbawa, membentuk bulan sabit namun melengkung ke bawah.

Bandung dan KisahnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang