Prolog

47 7 0
                                    

Langit kali ini begitu gelap dengan sulur-sulur kemerahan sinar mentari, tidak seperti biasanya. Sinar yang seharusnya indah itu ternodai oleh gumpalan asap kelabu dimana-mana, disertai dengan aroma darah yang menguar dari mayat-mayat yang bergeletakan hampir di seluruh tempat, menjadi sebuah pemandangan yang sangat mengerikan dan membuat siapapun jelas tak akan bisa berdiri di atas kedua kakinya.

Rerumputan yang seharusnya berwarna kehijauan serta bunga-bunga berbagai macam warna yang memukau mata, kini telah ternoda dengan warna merah pekat yang menandakan bahwa keindahan itu telah musnah. Disitu, di dekat sebuah pohon ek yang rimbun, tergeletak seseorang dengan baju zirahnya yang sudah tidak lagi kokoh dan penuh goretan di mana-mana. Bekas tusukan dan tebasan pedang yang besar dan dalam terlihat jelas pada bagian dada wanita itu, mengalirkan cairan merah pekat yang tidak dapat berhenti.

Terbatuk pelan, wanita itu memuntahkan cairan merah dari mulutnya. Bibirnya yang tipis itu sedikit bergetar dan pandangannya semakin kabur saat ia melihat sosok lelaki yang berjalan dengan perlahan mendekat ke arahnya. Ia sudah merasakan bahwa napasnya sudah sangat berat, tapi ia tidak merasa takut. Bahkan justru ia merasa khawatir. Ia sangat khawatir jika pria itu melihatnya dalam kondisi seperti ini. Pria itu mengutamakan keselamatan dan keamanannya lebih daripada apapun, dan sekarang pria itu melihatnya dengan kondisi yang mengenaskan. Wanita itu sangat hapal apa yang dipikirkan pria itu.

Memaksakan tersenyum dan mengangkat tangannya perlahan dengan sekuat tenaga, ia mencoba untuk menyentuh wajah pria itu. Suara lemahnya terdengar berbisik diudara. "Kau ... datang?"

Pria itu, yang kini bersimpuh di atas kedua kakinya, segera saja mengangguk, tubuhnya bergetar karena merasa sakit seperti ditusuk jarum panas. Ia merengkuh tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. "Mn, aku datang." Suaranya terdengar berat dan dua manik dari mata tajam itu membesar saat menyadari sekritis apa kondisi wanita ini.

"Dimana mereka yang membuatmu seperti ini?" Kali ini, suara itu sangat gelap, seolah menyimpan seluruh kebencian yang ada di alam semesta. Tangannya yang merengkuh tubuh itu semakin mengerat, seolah-olah menjaga agar wanita ini tidak semakin hancur. Namun, wanita itu mengerjap beberapa kali, mencoba untuk membuat pandangannya terlihat lebih jelas untuk melihat sosok pria yang ada di hadapannya. Terbatuk dan kembali memuntahkan darah, wanita itu berkata dengan susah payah, "Mereka sudah kubunuh, kecuali para catalystian."

Bibir tipis wanita itu terangkat kecil saat tangannya membelai lembut pipi pria itu. Mata cokelatnya yang seperti almond itu menelisik lekat sosok yang ada di depannya. Sesosok pria dengan rambut hitam legam, kedua alis tebal yang panjang, kedua manik mata sehitam jelaga, hidung bangir yang tinggi, dan bibir penuh yang selalu memberikan kata manis yang menyenangkannya. Hahh, apakah ia tidak akan lagi bisa melihat itu semua setelah ini?

Pria itu menyadari apa maksud tatapan itu, tembok ketenangannya mulai hancur. "Apa yang bisa kulakukan untuk menyelamatkanmu?" Suara itu terdengar pelan, dan sedikit bergetar saat rasa sakit itu tiba-tiba menyerang dadanya. Ia merasa sesak. Sial. Ia sudah memiliki segalanya, tapi itu masih tidak cukup untuk menjaga wanita ini tetap hidup. Tangannya mengepal keras. Ini semua kesalahannya. Ia tidak cukup kuat untuk melindungi wanita ini.

"Katakan padaku."

Wanita itu menggeleng pelan. "Tidak ada, Gege. Ini adalah tusukan tombak Rubrum Diaboli. Pun, pendarahan ini sudah begitu parah walau sudah kucoba hentikan." Wanita itu sudah pasrah. Toh, kini napasnya sudah mulai terasa cepat dan berat. Ia tahu waktunya sudah dekat.

"Danno ...," panggil wanita itu dengan lemah. Tangannya masih tetap dengan halus membelai pipi Danno. Pria itu segera mengangguk pelan. "Aku di sini, Kalin."

Tangan Danno yang sebelumnya terkepal itu dengan cepat menggenggam erat jemari Kalin. Matanya terpejam dan setetes bulir air mata turun di pipi Danno.

"Tetaplah hidup." Suara lemah itu beriringan dengan suara embusan napas panjang yang lemah.

Danno membuka matanya. Mata cokelat itu telah tertutup, hanya memperlihatkan bulu mata lentik hitam yang biasanya ikut mengerjap cepat saat wanita itu bereaksi akan sesuatu. Ailan sudah pergi, seperti tertidur. Ini semua karena dirinya. Ia adalah penyebab wanita itu mati.

Suara tawa satiris terdengar memecah keheningan, mengalun bersama desiran angin yang membawa serpihan-serpihan abu. Tidak ada yang bisa memastikan apakah itu sebuah tawa atau tangisan. Benar-benar terdengar sangat menyedihkan.

"Mana bisa aku tetap hidup?"

============TBC============

ETHEREAL : The Clock of AtonementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang