10 Tahun yang Lalu ...
Helaian daun yang telah menguning mulai berguguran dari pohon, seiring dengan desiran angin yang mulai menusuk hingga ketulang. Di bawah pohon yang sudah tidak memiliki dedaunan itu, nampak seekor ular yang memasuki sarangnya, siap untuk berhibernasi menghadapi musim dingin setelah mengisi perutnya hingga kenyang. Tak jauh berbeda dengan ular itu, di sebuah desa yang berada di atas Gunung Norikura, terdapat sebuah desa berisi para bandit gunung.
Mereka saat ini tengah mempersiapkan perbekalan musim dingin dengan pakaian mereka yang tebal. Desa itu nampak sangat sibuk meski sebentar lagi mentari menenggelamkan diri. Meskipun mereka adalah para bandit, nyatanya itu hanyalah sebuah mekanisme pertahanan diri, mereka tidak seliar dan sejahat itu. Hampir seluruh warga desa di sini adalah mereka yang tidak memiliki keluarga, entah karena ditinggal mati atau bahkan sengaja dibuang karena dianggap sebagai aib. Sampai akhirnya salah satu dari mereka yang gelandangan menjadi pelopor untuk mendirikan desa yang berisikan para gelandangan. Pun meskipun mereka sudah bersatu, keluarga bangsawan atau bahkan kekaisaran itu tidak memedulikan mereka, bahkan berniat membiarkan mereka kelaparan dan kembali ke atas gunung tanpa bawaan atau bahkan pekerjaan, sehingga satu-satunya jalan adalah menjadi bandit.
Toh, kehilangan sedikit dari benda berharga tidak akan membuat para bangsawan itu mendadak bangkrut, kan?
Di sebuah gubuk yang paling besar di antara yang lainnya, nampak seorang bocah lelaki yang tengah memotong kayu bakar yang telah dikumpulkan dari hutan sebelumnya. Bocah itu berambut hitam legam dan memiliki sorot mata yang tajam, meski terlihat kotor bocah itu memiliki paras yang enak untuk dilihat. Bocah itu tersenyum sumringah saat ketika ia melihat iring-iringan para tetua yang sudah kembali dari kegiatannya, merampas harta bangsawan yang sial karena melewati daerah kekuasaan bandit-bandit gunung ini. Ia melemparkan kapak serta kayu di tangannya dan langsung berlari mendekat.
Iring-iringan itu dikerumuni oleh warga desa lain, mulai dari ibu-ibu, pemuda-pemudi, hingga bahkan anak-anak kecil bak para pahlawan yang datang kembali ke negerinya. Bocah lelaki itu menyusup di antara sekian banyak warga desa yang juga ingin melihat kedatangan iring-iringan ini. Matanya seketika bersinar saat ia melihat sosok lelaki paruh baya yang kekar berjalan memimpin iring-iringan itu.
"Ayah!" Bocah itu berteriak seraya tersenyum sumringah.
Sontak pria yang dipanggil ayah oleh bocah itu menghentikan langkahnya dan berbalik, berjalan mendekat ke arah bocah itu. "Danno! Kau menjadi anak yang baik saat ayah tidak ada?" ujarnya dengan mengacak-acak pelan rambut mangkuk Danno.
Pria itu adalah Masato, pendiri dari desa bandit ini. Bocah itu adalah anak sematawayangnya dengan Akari, diberi nama Danno. Bocah itu saat ini berusia 11 tahun dan sudah lebih dewasa daripada usia seharusnya. Ajaran ayahnya yang cukup keras dan ajaran ibunya yang sangat lembut membuat Danno memiliki kepribadian yang cukup unik. Bocah ini jelas memiliki wajah dan aura kelam dari ayahnya, tapi sifat dan kepribadiannya seperti ibunya yang tenang dan cenderung lebih santai.
Danno mengangguk semangat, ia tidak takut lagi dengan ayahnya yang terlihat sangat buas itu. "Ya, aku membantu ibu dalam berbagai hal dan aku juga sudah mengumpulkan kayu bakar untuk persediaan kita selama musim dingin nanti, Ayah."
Masato mengangguk bangga, ia senang anaknya sangat bisa diandalkan. "Kerja bagus. Lalu dimana ibumu?"
"Ibu sedang-"
"Boss, akan kita apakan anak perempuan itu?" Suara seorang pria memotong perkataan Danno. Itu adalah anak buah ayahnya. Danno terdiam dan hanya mengamati kedua orang dewasa ini berbincang-bincang.
Masato mengerjap pelan. Ia baru ingat mengenai gadis cilik yang ia bawa dari aksinya hari ini. Anak itu ia temukan di kereta yang ditinggal bangsawan targetnya, mereka jelas tidak memedulikan anak itu. Pun kondisi anak itu terlihat sangat memprihatinkan. Ada bekas memar di wajahnya dan itu jelas bekas pukulan benda tumpul. Gadis sekecil itu benar-benar tidak pantas diperlakukan sedemikian rupa.
"Bawa dia kemari," ujar Masato, tangannya yang besar itu mengusap pelan pundak Danno yang masih kecil. Tak lama, setelah pria yang bertanya itu pergi, ia kembali lagi bersama seorang anak perempuan yang ringkih, perempuan itu berjalan dengan perlahan dan ragu-ragu, jelas ketakutan. Wajahnya lebih kotor dari Danno, tapi Danno melihat bahwa ia tidak memiliki wajah serupa dengan dirinya maupun orang-orang di sekitarnya. Danno menatap gadis kecil itu kebingungan dan Masato mengerti. "Dia adalah anak yang ditinggalkan dan ayah bawa ke atas gunung. Sepertinya dia adalah budak dari Negara Tenggara yang dibeli oleh tamu bangsawan yang menjadi target ayah hari ini."
"Bagaimana Ayah tahu bahwa orang-orang itu adalah tamu bangsawan?" tanya Danno.
"Pakaian-pakaian yang ada di dalam peti itu semua memiliki ornament khas Negara Naga. Jadi itu sudah pasti. Sepertinya dia tidak bisa bahasa kita. Kau cobalah ajari dia. Dia akan menjadi bagian dari keluarga kita mulai saat ini."
Danno mengerjapkan matanya cepat, sebelum akhirnya bibirnya tersenyum penuh. Tangannya terangkat untuk melepaskan mantel tebal yang ia gunakan sebelum mengebas-ngebaskan mantel itu, seolah membuang debu-debu yang menempel. Lantas ia memakaikannya pada gadis itu.
Mata besar gadis cilik itu terbelalak, sebelum akhirnya mengerjap cepat saat Danno berkata, "Mantelnya mungkin berat, tapi itu hangat. Kau kan tidak boleh memakai pakaian tipis seperti itu di cuaca yang sudah dingin ini." Tangannya mengikatkan tali yang ada di mantel dan gadis yang belum diketahui namanya itu hanya mampu menundukan wajahnya di antara kerah mantel yang tebal dan hangat itu.
"Mulai sekarang, aku akan menjagamu."
--
"Tidak, kau tidak harus melakukan hal semacam ini hingga sejauh itu!" seru Akari seraya memegang kedua pundak gadis kecil tanpa nama itu saat ia hendak membersihkan kakinya. Benar-benar! Apakah budak-budak di Negara Naga diperlakukan lebih tidak manusiawi? Sejauh ini sesuai pengalaman dan pengetahuan terbatas Akari, budak-budak di Negara Matahari selalu diperlakukan seperti keluarga, walaupun tetap suka diperintah dengan keras. Tapi, gadis ini benar-benar seolah hidup hanya untuk melayani. "Ayo, kemari! Kau belum makan, kan?" Tanya Akari lembut, seraya membimbing gadis cilik itu untuk ikut duduk bersimpuh bersamanya.
Gadis cilik itu hanya terdiam. Lalu dengan sigap ia menata lauk-lauk itu langsung ke mangkuk nasi dan memberikannya kepada Akari. Padahal, Akari jelas tahu anak kecil ini melihat makanan-makanan itu dengan tatapan kelaparan. "Apakah kau saat bersama pemilikmu dahulu harus kelaparan selama menunggu sisa-sisa makanan mereka?" tanya Akari, seraya menyodorkan mangkuk nasi itu. Namun, gadis kecil itu tetap bergeming.
"Makanlah," ujar Akari, mengangkat tangannya dan membuat gerakan seolah menyuap. Gadis cilik itu mengerjap beberapa kali, seolah memastikan dan tidak yakin. Akari mengangguk pasti dan kembali membuat gerakan menyuap. Setelah itu, barulah gadis cilik itu mengambil sumpitnya dan makan dengan sangat lahap. "Makanlah yang banyak."
Akari memerhatikan gadis cilik itu saat tengah makan selama beberapa saat dan perhatiannya teralihkan saat Danno datang. Bocah itu nampak bersemangat, membawa sebuah kotak dan berjalan setengah berlari mendekat ke arah gadis cilik itu. Ia lalu meletakkan kotak tersebut di depan gadis cilik itu dan membukanya dengan bersemangat.
Di dalam kotak itu, terdapat sebuah benda bulat berwarna keunguan, berkilauan dan sangat indah. Danno mengangkat benda itu dengan perlahan dan meletakkannya di meja. Akari terperanjat saat melihat benda itu.
"Bukankah itu benda berharga milik ayahmu, Danno?" tanya Akari yang masih menutup mulutnya. Danno mengangguk bersemangat. "Ayah memberikannya padaku untuk membuatnya dapat mengerti perkataan kita," jelas Danno, "Permata Sango kan memiliki kemampuan untuk membuka pikiran dan ayah beruntung mendapatkan benda ini." Danno tertawa puas dan mengambil mangkuk yang ada di tangan gadis cilik itu untuk kemudian diletakkan di meja. Ia merasa sangat senang setelah berhasil membuat ayahnya memberikan permata itu. Setelahnya, ia mengambil tangan gadis cilik yang tadi memegang mangkuk dan diletakkan di atas Permata Sango tanpa melepaskan tangannya. Menatap gadis cilik itu dengan penuh semangat, Danno bertanya, "Siapa namamu?"
Gadis itu terdiam dan hanya menatap Danno beberapa lama sebelum akhirnya sebuah suara lembut memecah keheningan dalam ruang makan itu.
"Kalinda."
--TBC--
KAMU SEDANG MEMBACA
ETHEREAL : The Clock of Atonement
RomantikMenurutmu, apa itu sebuah dosa? Apakah darah yang menggenang akibat pedang milikmu? Apakah api yang membakar akibat amarahmu? Ataukah akibat sebuah pengkhianatan yang kau lakukan pada saudara sesumpahmu? Tidak. Bagi Danno, dosa terbesarnya adalah sa...