- diam-diam sayang

1.5K 256 53
                                    

Seingat Angkasa, terakhir kali ia dan Banyu terlibat pembicaraan sekitar seminggu yang lalu mengenai masalah obat tidur yang dimiliki Angkasa—— itupun bukan sebuah pembicaraan baik dan justru malah berujung pada sebuah pertengkaran hebat yang semakin memperburuk hubungan persaudaraan diantara mereka yang sudah lama rusak. Entah sedari kapan, kemarahan tiba-tiba singgah di hati Angkasa dan menumbuhkan benci terhadap si kakak keduanya itu. Tapi hari ini, keduanya malah berakhir disini; di sebuah pantai tempat biasanya Angkasa menumpahkan seluruh keluh kesahnya, setelah sebelumnya Banyu menawarkan untuk menenangkan diri dan Angkasa menyebutkan pantai ini sebagai destinasi singgah sementara sebelum pulang ke rumah. Ia hanya tidak ingin membuat ibu khawatir melihat kondisinya yang separuh kacau.

"Gue tunggu di mobil, kalo lo butuh waktu sendiri"

"Lo nggak mau nanya sesuatu?"

Angkasa bertanya tanpa menoleh, mendudukkan tubuh di atas pasir pantai, menghadap langsung ke arah laut lepas. Sementara Banyu masih berdiri kaku di sebelahnya, terdiam cukup lama, helaan napas berat terdengar dihembuskan, meluruhkan pundaknya yang berat seolah memikul banyak beban. Lantas ia berujar pelan, "Gue tahu rasanya" Katanya. "Sebab gue juga pernah ngalamin hal serupa, bahkan beberapa kali setiap gue ngunjungin psikiater, terakhir kali sebulan yang lalu dan gue hampir aja kehilangan kendali" Angkasa menegang di tempatnya, terkejut mendengar penuturan Banyu yang diucapkan kelewat santai seakan-akan yang dibahas merupakan hal seumum bertukar kabar.

"Lo datang ke psikiater?"

"Iya dan dokter bilang gue ngalamin gangguan kecemasan menyeluruh, ada tekanan yang besar yang ngebuat gue sering ketakutan sama hal-hal yang bahkan belum tentu bakal terjadi" Bantu terkekeh samar, ikut mendudukkan diri di samping sang adik bungsu yang hanya terdiam dan Banyu simpulkan jikalau Angkasa hanya ingin menyimak, maka ia melanjutkan, "dan gue udah ngalamin hal itu sejak masih SMA, seusia lo mungkin, pertama kali saat ayah ngijinin gue buat bermusik, berlanjut sampai hari ini karena gue baru coba buat konsultasi tujuh bulan yang lalu" Ingatan hari dimana ia mencoba menyakinkan ayah dan ayah memberinya sebuah kesempatan diselipi ancaman berputar di kepala Banyu layaknya sebuah film.

"Gue nggak sadar kalo udah sakit selama itu, rasanya nyakitin kan?" Melirik ke arah Angkasa yang tak memberikan respon sedikitpun, Banyu tidak terlalu peduli sebab ia memang tidak membutuhkannya. "Dan gue nggak mau lo ngalamin hal serupa kayak gue, Sa. Gue nggak mau lo sakit lama-lama, terus kehilangan banyak hal kayak gue yang ujungnya nyakitin lo sama ibu" Suaranya melirih pada akhir kalimatnya tapi Angkasa masih mampu mendengarnya. Ia menoleh, mendapati Banyu menundukkan kepalanya, ini pertama kalinya Angkasa menemukan punggung Banyu terlihat serapuh sekarang ini.

Mungkin, diantara yang lainnya, Angkasa akan setuju jikalau ia dianggap paling mirip dengan Banyu. Segala sifat dari si kakak keduanya itu secara sempurna menurun langsung padanya; Angkasa memiliki sisi serupa seperti Banyu hanya saja dikemas dalam versi yang lebih lunak. Lucunya, mungkin karena ini pula keduanya sulit menyatu, sebab persamaan keduanya justru membuat mereka kesulitan untuk mendekatkan diri pada satu sama lain meskipun ingin. Kurangnya komunikasi dan Banyu yang jarang berada di rumah padahal mereka masih tinggal di atap yang sama, memperburuk hubungan diantara mereka yang memang tidak pernah dalam kondisi baik.

"Lo sering ninggalin ibu"

"Salah satu penyesalan gue" Angkasa dapat melihat ekspresi Banyu berubah sendu begitu lelaki itu mendonggakkan kepalanya. "Dan alasan terbesar gue datang ke psikiater" Angkasa mengerutkan keningnya tidak mengerti, kendati begitu penasaran, ia tetap memilih menunggu Banyu menjelaskannya.

"Gue marah sama ibu dan gue merasa perasaan itu nggak wajar" Banyu terkekeh kecil diakhir kalimatnya, menertawakan dirinya sendiri, sejauh ini ia sudah mencoba berdamai dengan perasaannya jadi tidak masalah jikalau harus menceritakan hal ini pada Angkasa, "Gue nggak mau merasa kayak gitu jadi gue datang ke psikiater, tapi dokter malah ngasih tau sakit gue yang lain"

"Kenapa?"

"Karena ibu pernah ninggalin gue juga" Angkasa menelan salivanya susah payah—— Banyu mengalami hal serupa? Tapi mungkin dalam kondisi dan masalah yang berbeda, hanya saja penyebabnya sama. Sebab ditinggalkan oleh ibu. "Gue lampiasin ketakutan gue dengan kerja secara berlebihan, sekaligus karena merasa marah sama ibu, dan itu juga yang ngebuat gue jarang pulang ke rumah. Tindakan gue emang nggak bisa dibenarkan, tapi rasanya sulit saat itu" Angkasa diam-diam memahami, sedikit memaklumi dan mungkin jikalau ia menjadi Banyu, ia juga akan melakukan hal yang sama.

"Sekarang gimana? Perasaan lo sama ibu? Masih marah?"

"Sedikit" Jujurnya. "Tapi sekarang udah nggak papa"

"Ibu tahu?"

"Ibu tahu" Banyu kembali mengingat wajah penuh rasa bersalah sekaligus penyesalan milik ibu yang malam itu basah oleh air mata. Tepat dimalam yang sama ketika Bima dan Mandala menceritakan kondisi Angkasa, Banyu juga jujur padanya, mengaku bahwa telah menjalani pengobatan ke psikiater sekaligus mengatakan bagaimana perasaannya pada ibu, meminta maaf sebab sudah melukainya selama ini. "Gue coba buat berdamai"

Banyu menolehkan kepalanya ke arah Angkasa, menarik napas berat dan dihembuskannya perlahan, ia mulai berujar dengan suaranya yang sedikit bergetar, "maaf, karena gue juga sering ninggalin lo" Angkasa balas menatapnya dengan sorot yang nyaris terlihat kosong, "maaf atas semua keegoisan gue, Sa. Gue kakak yang buruk dan lo berhak menyesal karena kenal gue di hidup lo" Ada sepenggal rasa sakit yang menggores permukaan hati Angkasa ketika mendengar Banyu berujar merendahkan dirinya sendiri. Untuk pertama kalinya juga Angkasa mendapati Banyu tidak setangguh biasanya, lelaki yang biasanya tidak banyak mengeluarkan ekspresi itu kini justru memandangnya penuh sesal dan rasa bersalah, ada luka yang tergambar lewat sorot matanya—— Angkasa sadar sekarang, jikalau mereka sama-sama merasa kesakitan.

"Lo nggak pernah peduli sama gue" Tudingnya. "Lo bahkan mungkin nggak inget punya gue, gue yakin lo nggak inget kapan ulang tahun gue. Sebegitu nggak berharganya gue dimata lo? Apa lo benci gue? Apa gue buat salah? Apa lo bakal pulang kalo gue nggak ada di rumah? Senakal apa gue sampe lo bilang kalo gue cuman bisa nambahin beban lo? Asal lo tau kalo pertanyaan sialan itu sering banget bikin gue pusing. Lo jahat!" Angkasa tanpa sadar melampiaskan semua yang ada dalam kepalanya, membiarkan Banyu mengetahui isi hatinya, memperlihatkan sedalam apa luka yang sudah Banyu torehkan padanya.

"Ngomong! Kenapa lo selalu tinggalin gue?! Kenapa?"

"Gue nggak pernah ninggalin lo"

Angkasa mendengus, mengusap kasar air mata di pipinya, "bohong" Sanggahnya tidak percaya dan Banyu menganggukinya.

"Karena lo nggak pernah lihat" Selorohnya kemudian. "Padahal gue sering datang ke sebuah kafe cuman buat liatin lo main drum disana, atau ke arena balapan buat mastiin kalo lo baik-baik aja dan beberapa kali gantiin mbak Nia datang ke sekolah lo kalo lo berulah" Angkasa membulatkan matanya; Banyu mengetahuinya, mengenai ia yang sering tampil dibeberapa kafe bersama teman-teman bandnya dan balapan. Ibu bahkan tidak mengetahuinya, atau lebih tepatnya tidak ada yang mengetahuinya. "Gue nggak minta lo percaya, nggak papa. Maaf kalo lo merasa ditinggalin, maaf kalo lo merasa nggak dipeduliin, maaf karena lo jadi merasa nggak berharga, maaf karena gue pernah bilang kalo lo cuman nambahin beban gue. Maaf, dek" Diusapnya pelan pucuk kepala Angkasa, si adik bungsu buru-buru memalingkan wajah begitu air mata kembali membasahi pipinya.

"Gue emang jahat, buruk banget jadi kakak, lo juga nggak perlu maafin kesalahan gue. Tapi, dek, gue cuman mau lo tahu satu hal, kalo gue nggak pernah benar-benar ninggalin lo. Maaf buat semuanya"

"Kenapa baru bilang sekarang?"

"Karena kakak lo ini payah. Nggak tahu cara ngasih tau dan nunjukin rasa sayangnya dengan benar" Angkasa membalikkan badannya, kedua kakinya di tekuk dengan kedua tangan terlipat diatasnya, ia menunduk, menyembunyikan wajahnya dilipatan kedua tangannya dan mulai menangis disana—— mungkin dokter Kinara benar, terkadang apa yang membelenggu dada perlu diutarakan bukan karena sebatas melampiaskan tetapi juga membutuhkan sebuah penjelasan. Angkasa mungkin tidak akan pernah tahu mengenai Banyu yang ternyata diam-diam sayang, sekaligus masalah yang dihadapinya jikalau ia tidak sadar mengatakan kemarahannya seperti saat ini, dan Banyu mungkin tidak berniat menceritakannya. Segalanya hanya perihal komunikasi, sekecil itu tapi teramat begitu berharga. Lalu entah mengapa kemarahan yang sempat bersarang dihatinya seketika terasa meluruh bersamaan dengan derasnya air mata yang mengaliri pipinya.

Banyu mungkin pernah membuatnya terluka tapi barangkali ia memiliki sebuah alasan, meski tindakan yang dilakukannya merupakan sebuah kesalahan.



Bombland🍀

A M E R T ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang