|| Jum'at sore, pukul empat
"Plan A, kerjakan!" Perintah seseorang misterius lewat aplikasi perpesanan di smartphone warna hitam miliknya.
Asap rokok terlihat mengepul statis kemudian, memenuhi ruangan remang-remang bertirai tebal tersebut.
____________________________________
Bab I. BERANDALAN
Bagian 1. Bentrok Di Rinji Ramen
____________________________________|| Tanah Lotek, selepas Maghrib
"Assalamualaikum, Ko Ahong!" sapa seorang berperawakan Arab. Beberapa orang lain yang menyertai ikut menyalami.
"Namo Buddhaya!" Pria Tionghoa itu menjabat tangan mereka. "Pak Lurah, ini bawa Wan Ahmad sama bapak-bapak dari mana?"
"Keliling, Ko, koordinasi. Biar nanti Cap Go Meh-nya bisa lancar dan aman."
"Oh, koordinasi. Terima kasih banyak atas kepeduliannya, Bapak-Bapak. Xie-xie."
Tutur sapa hangat seperti itu telah lazim di kalangan orang-orang Tanah Lotek, sisi utara kota Tebing Malintang. Mereka membaur akrab meskipun dari latar sosial yang berbeda-beda.
Berlainan suku, ras, etnis dan agama tak menjadikan mereka bersengketa. Aneka bentuk rupa, warna kulit hingga gaya bahasa yang tak seirama melebur dalam kebhinekaan. Kota kecil di lereng Bukit Barisan ini tak ubahnya miniatur Indonesia dengan keberagamannya.
"Singgah-lah dulu, Bapak-Bapak, kita ngopi," ajak Lili, istrinya Ahong.
"Nah. Mantap itu. Pas, udaranya juga lagi sejuk-sejuknya." Ahong menuntun mereka ke tempat duduk sederhana di depan ruko.
Sementara itu, Slamet dan Mat Ali yang juga ikut dalam rombongan meminta izin pergi sebentar. Kedua hansip itu ingin membeli oleh-oleh sekaligus menikmati suasana ramai Tanah Lotek.
Seperti halnya kawasan pecinan, Tanah Lotek yang telah ada sejak zaman Belanda itu pun bersolek menjelang perayaan tahun kalender Tionghoa tersebut. Berbagai ornamen ditata rapi. Pijar lampu warna-warni, lampion merah-putih padu-padan dengan bendera kebangsaan semarakkan suasana.
Seniman jalanan, penjaja mainan serta penjual asongan bercampur riuh dengan para pramuniaga sahut-sahutan memanggil para pembeli. Orang-orang datang dari berbagai penjuru kota untuk turut merayakan atau sekedar menikmati momen tersebut.
||Warung Rinji Ramen
"Mie ramen, mie ramen-nya, Kak!" seru seorang perempuan muda. Parasnya anggun oriental bangsa Jepang, menggunakan busana khas warga negeri Matahari Terbit, kimono berwarna putih berlukiskan kembang bunga sakura.
Antrian mengular hingga ke trotoar. Jadi satu-satunya di Tebing Malintang dan memiliki kisah masa lalu yang melegenda membuat kedai ramen di tepi pertigaan jalan itu selalu diramaikan pengunjung.
Lika-liku perjalanan hidup Ki Rinji, seorang Jepang yang harus melawan bangsanya sendiri demi idealisme dan cintanya pada seorang wanita pribumi menjadi kisah yang tak lekang oleh waktu.
Namun, daya tarik sesungguhnya kini ada pada dojo karate yang diwarisi putranya. Tempat itu bagai magnet di tengah trend baku-hantam yang sedang booming di kota kecil tersebut.
Kebijakan pemerintah yang melegalkan bisnis sabung orang bahkan menaikkan pamornya jadi ajang resmi berlebel Adu Jago membuat peminat olahraga beladiri membludak.
Ironinya, kebijakan tersebut juga serta-merta merubah wajah Tebing Malintang. Kota yang dulunya dikenal sebagai pusat kerajinan dan hasil pertaniannya itu, kini bermetamorfosa jadi layaknya sarang para petarung.
KAMU SEDANG MEMBACA
TIKAI1 - Hutan Hantu Jepang
Historical FictionHUTAN HANTU JEPANG merupakan seri pertama dari beberapa seri TIKAI yang insyaallah akan Author rampungkan. Di seri HUTAN HANTU JEPANG ini akan dikupas perlahan perihal misteri di balik tragedi berdarah di hutan larangan tersebut. Misteri yang terkub...