12. Bahagianya Ibu

2.2K 251 0
                                        

Juan menatap motor dan mobil yang tidak ada habisnya di jalan raya. Dibalik dinding kaca, ia terus memindai kendaraan-kendaraan itu. Matanya memang menatap lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh.

Juan terus memikirkan nasibnya yang akhir-akhir ini kurang baik. Ia juga kepikiran tentang kondisi Aldi yang kata Chiko semakin buruk. Hah, rasanya ia ingin menjenguk bocah menggemaskan itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam dan Juan masih berada di kafe, harusnya jam empat tadi ia sudah pulang. Tapi, karena kafe yang ramai, jadilah ia harus ikut membantu karyawan yang lain.

"Kenapa belum pulang, Juan?" tanya si pemilik kafe.

"Nunggu hujannya agak reda, Pak," jawab Juan seraya tersenyum simpul.

Di luar memang sedang turun hujan yang cukup deras. Juan enggan menerobos karena luka di pelipisnya masih belum terlalu kering.

Adnan, pria berumur tiga puluh dua tahun itu mengangguk paham.

Dua orang berbeda usia itu kemudian terjebak keheningan. Mereka sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing.

Adnan sedari tadi menatap Juan. Ia sedikit merasa aneh dengan remaja itu, sebab hari ini Juan lebih banyak diam. Ia memang belum terlalu mengenal Juan, tapi sejauh ini yang ia tahu Juan orangnya berisik dalam artian begitu ramah.

"Juan, boleh saya bertanya?"

Akhirnya Adnan bersuara menghilangkan hening di antara mereka. Juan hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Apa kulitmu sudah pucat dari lahir?" tanya Adnan. Hal itulah yang membuatnya penasaran dari kemarin. Pasalnya di daerah ini, sangat jarang ia temui orang yang berkulit putih pucat seperti Juan.

Juan tampak berfikir. "Em.. kayaknya nggak, sih, Pak," jawabnya ragu-ragu. Ia juga agak bingung, sedikit tidak ingat sebenarnya, apakah ia terlahir dengan kulit pucat atau tidak.

"Mungkin karena waktu kecil Juan jarang banget keluar rumah dan nggak kena cahaya matahari, makanya kulit Juan jadi pucat," lanjutnya.

Memang bener, saat kecil ia selalu dikurung sang ibu di rumah. Ia hanya boleh keluar rumah saat sekolah. Di sekolah pun ia hanya berdiam diri di kelas. Mungkin karena itulah kulitnya jadi putih pucat.

"Begitu, ya."

"Mau saya anter pulang? Dari tadi saya perhatikan kamu kayak gelisah gitu, pasti takut Ibu kamu khawatir karena kamu belum pulang, kan?" tawar Adnan.

Juan membenarkan, tapi mana mungkin sang ibu khawatir. Yang ada saat sampai di rumah ia akan dimarahi habis-habisan.

"Nggak usah, Pak. Saya nunggu hujan reda aja. Lagian saya pasti ngerepotin Bapak," tolaknya halus.

Adnan menggeleng pelan. "Saya nggak merasa direpotkan kok, Ju. Lagian kita searah kok."

Mau tak mau Juan mengiyakan, daripada ia dipecat karena tidak menuruti sang bos.

.
.
.

Plak

Sepertinya tiada hari tanpa Juan merasakan tamparan. Baru saja ia sampai di rumah, sebuah tangan sudah mendarat di pipinya. Rasa perih langsung menjalar, untungnya ia sudah terbiasa.

Juan menghela nafas panjang, kemudian menatap sang nenek yang menjadi oknum penamparan. Dari kilat matanya, dapat Juan pastikan jika sang nenek sangat marah.

Kali ini apalagi salahnya?

"Udah puas keluyuran sampai lupa rumah, hah?" tanya Kamila sinis.

Juan menghela napas lelah. Ia ingin beristirahat, ia sungguh lelah hari ini. Bekerja sebagai pelayan kafe tidaklah semudah yang ia bayangkan dan ternyata sangat melelahkan.

Juan [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang