16: Tanah Terkutuk

227 7 4
                                    

Ketiga penggali baru menyelesaikan pekerjaan mereka, yakni mengubur mayat wanita hamil. Tidak seperti Jali dan Janar yang langsung mengasingkan diri ke pondok, Jaka sempatkan diri mengambil duduk di dekat makam sambil berdoa. Jali dan Janar merasa janggal. Belum pernah mereka lihat sisi ajaib Jaka, yang memanjatkan doa sebegitunya. Hingga beberapa saat kemudian, terlintas dalam benak Janar mengenai dua pendatang itu. Ia menduga Jaka sudah terpengaruh dengan apa yang orang kota itu omongkan, perihal mendoakan jenazah. Dugaannya pun dibenarkan setelah Jali menanyakan maksud Jaka berdoa. Keinginan berdoa itu tidak semata-mata karena dorongan dari orang kota, melainkan hewan yang pernah Jaka pelihara dulu. Jaka teringat kucing pemberian ayahnya. Kucing abu-abunya yang lincah meregang nyawa saat dibawa berburu. Anak panah mendarat ke tubuh si kucing. Kucing itu terbunuh karena ketidaksengajaan sang ayah, yang ingin membidik kelinci di balik semak.

Dengan tangan berlumur darah, kucing dibawa ke halaman belakang dan Jaka menggali kubur di sana. Ayah Jaka berpesan untuk mendoakan kucing itu supaya ia tenang. Jaka pun mengikuti sarannya, meskipun pada saat itu ia tidak bisa memaafkan ayahnya. Rasa sakit karena kehilangan hewan peliharaan Jaka pendam hingga dewasa, hingga pada suatu hari, sang ayah bertemu ajalnya. Pada saat terakhir mereka bertatap, baru terdengar kata maaf dari sang ayah. Dia merasa bersalah karena sudah membunuh hewan peliharaan Jaka.

Jaka yang sebenarnya sudah tidak memperdulikan hal itu lantas meminta ayahnya bertahan. Dia ingin sang ayah tetap hidup dan tidak berakhir seperti kucing malangnya dulu. Namun, takdir berkata lain. Ayah Jaka meninggal karena sakit paru-paru. Pun sebab penyakit itulah yang membuat ibu Jaka memilih meninggalkan laki-laki itu. Ia hanya tidak ingin punya keturunan yang penyakitan, meskipun Jaka, anak mereka satu-satunya tidak mewariskan penyakit sang ayah. Itu murni dalih saja, bahwa sejak awal ibu Jaka punya keinginan berselingkuh.

Sucipto pulang dengan wajah muram, merasa tertampar setelah mendengar omongan Bu Darmi. Sucipto menghadap cermin, memandang peci yang ia kenakan. Ia merasa munafik. Bingkai foto diambil, Sucipto melihat potretnya bersama almarhum Cahyono dan warga desa, pada saat memanen jagung. Desa Kembang yang dulu tanahnya subur, sekarang tak begitu. Panen beras saja jarang-jarang, sebab kondisi cuaca yang kerap kali berubah-ubah.

Entah mengapa, Sucipto meyakini Desa Kembang telah dikutuk. Kutukan yang membinasakan kebun warga dan wanita hamil. Dua hal itu disangkutpautkan dengan adanya Kuntilanak Merah. Seingat Sucipto, makhluk jahat itu telah diborgol dengan keris keramat, namun bagaimana mungkin makhluk yang sudah dijerat bisa bangkit lagi? Sucipto berpikir, mungkin ia telah melewatkan sesuatu. Kejanggalan demi kejanggalan begitu kentara, sehingga mengundang tanya yang Sucipto bahkan tidak tahu apa jawabnya.

Ingatan di masa lalu menariknya pada awal mula kutukan itu tercipta. Adalah Mbok Sumi, wanita pertama yang menemukan mayat Ningsih, perempuan jelmaan Kuntilanak Merah itu. Di akhir hidup Ningsih, Mbok Sumi sempat dengar apa yang diucapkan Ningsih.

"Aku dengan segenap dendamku mengutuk desa ini. Setiap bayi yang lahir akan aku ganggu hingga akhir zaman!"

Mendadak awan menutup bulan. Halilintar menggelegar, mendadak gaduh binatang sekampung. Kilat seketika menyambar Ningsih. Tubuhnya menghitam serupa jelaga. Pun bayi dalam kandungan tersambar, darah memercik ke mana-mana. Mbok Sumi histeris, begitu pula Sucipto yang menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Sucipto pun membawa Mbok Sumi pergi agar tidak ikut tersambar.

Sepanjang malam, petir maha dahsyat tidak kunjung berhenti menyambar. Masing-masing warga bersembunyi di rumah, takut dengan bencana yang menimpa kampung mereka. Sejak peristiwa itu, Sucipto meyakini tanah kembang benar-benar terkutuk.

Esok paginya, Sintya terpaksa menutup salon lantaran mendengar kabar buruk. Ferdi memberitahu Sintya kalau Sumarni semakin parah sakitnya. Ia pun bergegas ke rumah sakit menjenguk sang ibu dan betapa terkejutnya Sintya melihat tubuh Sumarni meletupkan bentol bergelembung. Ferdi memberitahu Sintya, setiap sepuluh menit, bentol-bentol itu akan pecah sendiri. Para perawat dan dokter tidak mengetahui apa sebabnya, begitupun Ferdi.

"Kayaknya udah nggak meletup lagi," celetuk Sintya menghitung waktu yang sudah lewat sepuluh menit.

"Aliya mana?" tanya Ferdi.

"Kutitip sama supir kita. Pak Sardi."

Ferdi mengangguk, lalu pamit ke minimarket untuk beli minum. Sintya pun menyarankan supaya suaminya mandi dulu, biar ia yang jaga ibu. Ia pun menurut, berlalu pergi mengambil kemudi.

Tiba-tiba Sintya menemukan diari milik ibunya. Ia pun meraih buku itu dan tidak sengaja melihat selembar halaman. Ada figur mengerikan terpampang dalam buku tersebut. Sosok bergigi tajam seperti gergaji, bola mata merah menyala dengan hidung runcing serupa penyihir.

"Apa ini?" Sintya bertanya-tanya.

Cara Sumarni menggambar agak kasar. Tidak jarang coretan pena itu menembus lembar halaman lain. Sintya membalik halaman dan menemukan gambar lagi. Tidak jauh berbeda dengan yang tadi, hanya saja sosok ini digambar dengan posisi tubuh menghadap ke samping. Sintya melihat tonjolan dan sosok itu menengadahkan tangan ke sesuatu berupa tonjolan tersebut. Sintya menerjemahkan arti tonjolan yang ia duga adalah bentuk perut wanita. Ia perhatikan sosok yang menghadap samping itu. Gambar ini sedikit abstrak, sebab setiap Sintya membalik halaman, bentuk rambut pada setiap sosok berbeda. Ada yang lurus, gimbal, dan ada juga yang menggumpal. Ketika sampai di halaman terakhir, Sintya menemukan tulisan aneh.

Manahaj sidag iahaw umak halakalec
Kurub lah nagned aynnarikip halnakuacak

"Bahasa apa ini?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 28, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Desa Terkutuk [ON-GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang