Misteri Satu dari Seribu

73 4 0
                                    

Nama : Setia Rian Pramantara

Tanggal : 5 Oktober 2013


Langkah pertamaku menapakkan kaki di Muara Angke meruntuhkan harapanku mengenai tujuan yang akan aku kunjungi nanti. Setelah dua jam duduk terdiam sambil berandai-andai keindahan pulau Pari yang merupakan salah satu bagian dari gugusan pulau Seribu, akhirnya aku bersama teman-teman sampai juga di tempat penyewaan kapal kecil di daerah Muara Angke, Jakarta Utara.

Kesan pertamaku saat turun dari bus adalah tanah becek, bau, kumuh, kotor, tetapi ramai pengunjung. Terpikir sekilas dalam benakku, alasan mengapa Indonesia hanya terkenal dengan Bali-nya saja. Padahal, banyak tempat-tempat indah di Indonesia yang lebih menawan dibandingkan sekedar Bali ataupun Lombok. Inilah yang membuatku sangat berniat mengunjungi beberapa tempat wisata, dengan mengikuti program-program kunjungan wisata, yang diadakan oleh sekolahku ini salah satunya. Rencananya, aku dan banyak siswa lainnya akan mengunjungi pulau Pari selama tiga hari dua malam. Perjalananku pun dimulai dengan disambut bau amis tak sedap daerah pelabuhan sekaligus pasar ini.

Aku sedari tadi hanya duduk sambil salah satu tanganku menutupi hidung, dan yang satunya lagi memegangi kepalaku yang sedang nyut-nyutan. Dengan badan sempoyongan, aku mencoba berdiri dan berjalan menuju jendela. Untuk kedua kalinya setelah pertama kali turun dari bus aku merasakan penyesalan memilih tujuan wisata ini. Mungkin, inilah yang dijadikan alasan oleh wisatawan asing yang mencoret pulau Pari dari daftar tujuan rekreasi mereka. Kupandangi area sekitar dari lubang jendela. Kulihat tidak jauh dari pandangan mataku adalah sebuah daratan tempat penyewaan kapal tadi. Dari jendela, aku tidak merasakan adanya kehidupan di sana, bahkan sepanjang perairan yang berombak itu juga terlihat seperti samudera kematian. Dimana-mana ada sampah. Warna air hitam gelap, tidak membiarkan seberkas cahaya pun menembus permukaan. Ditambah lagi, banyak ikan-ikan terapung tak berdaya. Miris sekali rasanya, melihat keadaan sebuah gerbang sebagai jalur menuju suatu tempat mempesona, berada dalam kondisi kritis memprihatinkan. Tidak salah jika banyak orang sempat berputus asa terlebih dahulu sebelum sampai ke tempat tujuan.

Setelah cukup lama aku berdiri termenung memikirkan keadaan Indonesia, aku beralih menuju jendela seberang yang berlawanaan arah dengan jendela tempat aku berdiri tadi, mencoba menilai sisi lain pemandangan dari kapal. Dari sudut yang satu ini, aku tidak melihat perbedaan antara keduanya. Tetap saja, banyak sampah dimana-mana. Bahkan, lebih banyak dari sisi yang tadi. Hanya saja, tidak kulihat adanya bangkai ikan yang mengapung di permukaan. Hal yang mencolok bagiku adalah terlihat di kejauhan bangunan-bangunan besar. Gedung-gedung pencakar langit. Menunjukkan bahwa Jakarta adalah kota industri. Selain bising yang dibuat oleh ocehan teman-temanku dalam kapal, aku juga bisa sedikit mendengar polusi suara yang dihasilkan pabrik-pabrik di antara gedung menjulang tinggi itu. Kejadian ini bisa dibayangkan seperti rakyat yang ribut bekerja keras hanya untuk para petinggi-petinggi negara.

Pergerakan kapal ini semakin cepat. Daratan-daratan itu pun perlahan menjauh, menghilang dari pandanganku. Aku hanya bisa melihat arus ombak yang menghantam kapal saja sekarang, dan itu membuatku mual. Tidak mau mengambil resiko muntah sembarangan, aku memutuskan untuk kembali menuju lesehan tempat aku kebagian jatah tidur.

Tubuhku masih terombang-ambing dalam kapal mengikuti gerakan kapal yang menghampas ombak. Angin sepoi-sepoi laut masuk melalui celah jendela dan sesekali menghantam wajahku dengan keras. Suara jelek dari kapal kadang-kadang membuatku juga sedikit membuka mata dan menutupnya kembali. Seperti merasa takut ada sesuatu hal yang buruk telah terjadi dan teriak suara kepanikan dimana-mana. Mungkin, sudah lebih satu jam aku terus saja begitu. Secara bertahap mengerdipkan kelopak mata, terngiang akan keadaan buruk Indonesia dalam gelapnya pendangan. Tetapi, juga tergambar posisi Indonesia yang mengkhawatirkan, saat membuka mata.

Misteri Satu dari SeribuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang