Helaan nafas lelah Wina hembuskan ketika punggungnya menyentuh kasur. Tas kerjanya terlempar asal di dekatnya, beberapa kertas berkas terlihat keluar dari tempatnya. Wina melirik sebentar kertas kertas pembawa sial itu.
Umurnya yang kini menginjak 25 tahun. Dengan kehidupannya yang sedang ditekan beban pekerjaan. Wina menghena nafas gusar. Beberapa ketakutan tengah menghinggapinya.
Dulu saat masih muda, dia ingin cepat-cepat dewasa. Lari dari segala beban pekerjaan rumah yang berisikan puluhan soal. Tetapi ternyata menjadi dewasa tidak semudah itu.
Karena tak kunjung merasa tenang, Wina lantas bangkit dan berjalan menuju meja kerjanya di kamar. Hendak mencari selinting tembakau plus cengkeh untuk dibakar. Tetapi ketika tangannya membuka laci, perhatiannya justru terarah ke buku tahunan SMA yang ia simpan disana.
Niatnya untuk mengambil kotak rokok dia urungkan.
Diambilnya buku tahunan tersebut dan Wina membuka lembar pertama.
———————–—–
Sembilan tahun yang lalu...
Winata POV
Hari pertama masa pengenalan sekolah. Gak ada perasaan excited kayak romantisasi orang-orang baru masuk ke jenjang SMA. Selesai pamit sama Bunda yang entah kenapa hari ini mau mengantar gue pergi ke sekolah, gue berjalan santai memasuki area gedung yang dominan dengan warna hijau muda.
Begitu masuk ke areal lobi utama sekolahan yang berbentuk L ini, ada banyak guru-guru dan kakak kelas yang kelihat menyambut kita; murid-murid baru. Gue yang merasa canggung cuman bisa ikut-ikutan anak-anak lain yang menyalami beberapa guru dan kakak kelas yang ada. Senyuman ramah gue kembangkan sedemikian rupa karena gak mungkin gue membuat perkara di hari pertama sekolah.
Meskipun ada beberapa kakak kelas berjas hitam kuning yang masang muka jutek, rasanya mau gue grauk mukanya yang bintang satu itu.
Selesai dengan acara salam-salaman, kita digiring menuju ke lapangan dengan masih membawa tas.
"Dek, kamu kelas berapa?" Tanya salah seorang kakak kelas berjas hitam dihadapan gue.
"10 mipa 1 kak." Jawab gue yang dibalas anggukan kecil sama dia.
Dia terusan menunjuk sebuah barisan di dekat pancuran air yang letaknya di tengah-tengah bentang lapangan. "Kamu ikut baris disana ya, baris yang rapih."
Gantian gue yang balas memberi anggukan kecil, "Oke kak, makasih."
Setelahnya gue bergerak kearah barisan yang kakak tadi tunjuk. Beberapa orang dibarisan itu udah ada yang saling ngobrol, tapi ada juga yang cuman baris terus diam tanpa bersuara. Gue pun masuk ke sekte baris diam tanpa bersuara.
Sekali gue melirik ke samping gue. Di samping gue ini ada anak perempuan, rambutnya sebahu dan digerai. Gue cuman melirik tanpa ada niatan untuk ngajak kenalan terlebih dahulu. Tapi dari sudut mata, gue melihat ini anak kayaknya lagi mencari-cari keberadaan seseorang. Alias dia gak bisa diem dan kelihatan celingak celinguk sana sini.
Sampai dia akhirnya tiba-tiba angkat tangan dan berteriak heboh.
"Ningrum oy gue disini!"
Jujur, agak kaget dikit karena dia teriak tanpa aba-aba di sebelah gue. Dan mungkin dia sadar akan keterkejutan gue, "Eh sorry sorry, lo keberisikan ya??" Tanyanya ke arah gue.
Gue terusan mengulas senyum dan bilang, "Engga kok."
Datanglah seorang anak perempuan yang tadi dipanggil Ningrum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tujuh Belas
Teen FictionIni tentang masa muda Winasya Adriana dan teman-temannya yang penuh warna.