002

2.8K 436 14
                                    

"Pulang pukul berapa?" Tanya Haruto begitu mobilnya berhenti tepat didepan gerbang sekolah pemuda itu.

Jeongwoo menggigit bibir bawahnya seperti mengingat-ingat sesuatu, "pukul tiga."

Si mata elang mengangguk paham, "jangan pergi kemanapun sebelum aku menjemputmu."

Kalau kalian pikir, kehidupan pernikahan mereka akan saling membenci atau menentang, maka itu tidak akan terjadi. Haruto merupakan pria yang cuek, cenderung tak banyak ambil pusing sedangkan Jeongwoo lebih diam.

Perbedaan usia mereka juga menjadi alasan mengapa mereka dapat setenang ini. Haruto berada empat tahun diatas Jeongwoo, umurnya masih dua puluh dua. Namun, tetap lebih dewasa dibandingkan pemuda manis itu.

Saat mengambil keputusan terbesar kemarin, Jeongwoo tahu Haruto sudah memikirkan hal itu matang-matang, jadi, ia tidak merasa ragu.

Jeongwoo memandang sebentar benda itu. Ia bahkan tidak melepas cincin nikahnya; yang seharusnya tersemat pada jari manis Hyunsuk. Beruntung, tidak ada ukiran nama disana hingga tak harus repot-repot ditukarkan.

Helaan nafas pasrah meluncur dari bibir sang pemuda park. Ia memasukkan tangannya ke dalam saku celana sebelum melangkah masuk ke lingkungan sekolah, menghindari kecurigaan pada setiap mata yang melihatnya.



[ SANCTUARY ]



Sore ini setelah rapat osis diadakan; anggota lain yang tidak memiliki kepentingan, beranjak pulang sebab bel terakhir sudah berbunyi. Hanya tinggal Jeongwoo, Jaehee dan Wonyoung dimarkas.

"Apakah memakai cincin sebuah trend baru sekarang ini?" tanya Jaehee memecah keheningan. Jeongwoo belum menyadarinya.

Wonyoung melirik dengan tanda tanya. "Cincin apa?"

Jaehee kemudian menunjuk benda kecil berkilau disalah satu jari Jeongwoo. Pemuda itu gelagapan.

Tadi pagi, Haruto sudah meminta Jeongwoo untuk melepasnya selama disekolah karena takut terlepas atau hilang, namun ia lebih menurut pada ibunyaㅡmelepaskannya apalagi setelah diberkati, itu bukan hal bagusㅡjadi dia patuh.

Jeongwoo berdehem pelan, "ini cincin baptisku."

"Ku pikir cincin pernikahan karenaㅡ"

"ㅡjangan konyol, kita masih sekolah." Balas Wonyoung acuh. "Kalau kau tidak memiliki pekerjaan sebaiknya bantu aku membereskan laci ini."

"Malas. Kau punya dua tangan, bereskan sendiri."

Dan, begitulah Jaehee pergiㅡogah mencari keributan dengan Wonyoung.

Sementara Jeongwoo masih mencatat pelanggaran hari ini, gadis dengan rambut dikucir ekor kuda itu menoleh, "bagaimana kabar keluarga barumu? Kau baik-baik saja disana?"

Jeongwoo menghentikan aktifitasnya. Bagaimana Wonyoung tahu semua ini, sedangkan ia tidak pernah menceritakan apapun pada siapapun bahkan Junghwan dan Yedam saja tidak.

"Bagaimana bisa?" tanya Jeongwoo, tak percaya dengan pendengarannya.

"Kemarin, aku menggantikan ibuku untuk datang ke pernikahan kolega ayah sebab ibu sedang sibuk di butik. Aku tidak dapat menutupi rasa terkejutku ketika yang naik ke altar adalah dirimu." Celoteh Wonyoung.

Ia mengibaskan sebuah map ke depan wajah, kepanasan sebab AC ruangan mati. "Aku sudah memanggilmu beberapa kali tapi sepertinya kau tidak mendengarku."

Kali ini Jeongwoo benar-benar kehabisan kata-kata.

"Wony ... Akuㅡ"

Wonyoung berdiri dari tempat duduknya, ia menyambar tas miliknya kemudian menepuk bahu lebar si ketua osis.

"Tidak perlu khawatir, aku bukan Jaehee. Pulanglah, suamimu pasti sudah menunggu didepan gerbang."



[ SANCTUARY ]




Jeongwoo melirik Haruto, pemuda itu berkendara dengan tenang sementara dirinya sendiri lagi-lagi sibuk bergelut pada pikirannya. Selalu, setiap waktu.

"Bagaimana harimu?" tanya si pengemudi tanpa menoleh.

"Lumayan. Dan kau?"

"Sejauh ini baik-baik saja." Balas Haruto.

Keheningan menyelimuti lagi hingga mereka sampai di mansion. Jeongwoo turun dari mobil sendirian sementara Haruto harus kembali ke kantor, menyelesaikan pekerjaan setelah itu pulang ketika jarum jam menunjuk angka delapan.

Mansion amat sepi rasanya, mungkin karena rumah sebesar ini hanya dihuni oleh empat orang yang kesemuanya sibuk, hingga hanya didominasi oleh aktifitas maid dan pesuruh.

Jeongwoo menatap langit-langit kamar Haruto, dia bosan.

"Sebagai seorang calon istri, kau harus melayani suamimu." ujar Bunda suatu hari.

"Maksudnya?"

"Siapkan kebutuhannya seperti baju, alat mandi dan sepatu, juga makanan."

"Makanan ..." Gumam Jeongwoo tanpa sadar.

Tiba-tiba benaknya menyusun skenario. Ini baru pukul empat, kalau Jeongwoo memasak sekarang, kemungkinan akan selesai pukul enam. Bila Haruto pulang, dia bisa meminta maid untuk menghangatkan dan menyajikan makanan tanpa harus bertanya siapa pembuatnya.

Sebab, Jeongwoo tidak yakin masakannya akan diterima dengan baik oleh sang suami.

"Tapi aku tidak tahu apa makanan kesukaannya." Pemuda itu murung.

Satu-satunya ide hari ini adalah Spaghetti, karena Jeongwoo yakin didalam kulkas dapur, bahan pembuatnya mudah ditemukan.

"Tidak apa-apa nanti kalau dia tidak mau, akan aku makan sendiri."

Dibantu oleh kepala koki mansion, Jeongwoo berusaha keras membuat makanan khas dari Italia itu, hingga ketika mendengar suara mobil diluar mansion, Jeongwoo cepat-cepat menyudahi acara masak memasaknya lalu berlari masuk ke dalam kamar.

Pemuda itu yakin ia telah memberi pesan yang jelas kepada Maid untuk menyajikan hasil jerih payahnya kepada Haruto. Namun, ia lupa tidak meminta merahasiakan pembuatnya.

"Masakan siapa ini?" tanya Haruto begitu ia memakan spaghetti buatan Jeongwoo.

Lidah pemuda bermata elang itu telah mengenal betul rasa masakan koki mansion, dan yang ia makan sekarang sangat berbeda dari buatan koki.

Maid Shin tersenyum, "Buatan Tuan Muda Jeongwoo."

"Dimana dia sekarang?"

"Sedang belajar di Kamar Tuan." Balas Maid Shin sopan.

Haruto tak menyahut lagi.

[ To be Continue ... ]

SANCTUARY | HAJEONGWOOWhere stories live. Discover now