Seperti kerupuk disiram air, nyaliku menciut seketika begitu berhadapan dengan Om Darwin, papanya Nadia. Sorot matanya yang menikam membuatku menelan ludah berkali-kali.
Gila! Kenapa aku senekad ini?
Datang ke rumah Om Darwin sama saja dengan menyorongkan diri ke mulut harimau untuk dijadikan santapan segar.
Aku menarik napas dalam-dalam untuk meredakan kegugupan. Sekalipun kemungkinan terburuk yang terjadi, aku harus siap dan tetap tenang.
"Sudah sekaya apa kamu mau melamar anak saya, hah?" Suara Om Darwin terdengar seperti meriam yang diledakkan di depan muka.
Aku tak tahu harus menjawab apa?
Jemari tangan kiri dan kanan yang gemetar dingin saling bertaut di depan lutut.
"Papah!"
Kulihat Om Darwin mengacungkan tangan membuat gadis itu langsung diam. Sedang tatapannya yang menikam masih terkunci padaku.
Sekali lagi, aku menelan ludah dan menunduk.
"Kamu kerja apa emangnya? Gajimu berapa?" Datar, tapi menggelegar. Sesekali laki-laki itu menyemburkan asap rokok ke depan.
Kulirik Nadia sebentar. Gadis yang duduk persis di sebelah kanan Om Darwin itu tampak risau memandangku.
Lagi, aku menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan Om Darwin.
"Saya security di sebuah bank, Om. Gaji saya 3,1. Tapi insya Allah untuk biaya ke depan saya punya tabungan."
Hening sesaat. Om Darwin mematikan puntung rokoknya di asbak. Aku yang tak kuat dengan asap tembakau itu sejak tadi menahan sesak.
"Hah, gaji segitu saja belagu mau melamar anak saya."
Ucapan Om Darwin yang bernada merendahkan itu langsung mendapat protesan dari Nadia. "Papah! Kok, gitu bicaranya?"
"Diam Nadia, Papa belum selesai!" Om Darwin melotot membuat gadis berwajah ayu itu duduk kembali setelah sempat berdiri.
Kepalaku makin berat, telapak tangan sudah dibasah keringat. Bahkan, duduk pun serasa melayang seperti tak memijak. Aku tak ubahnya seorang tersangka yang tengah menunggu putusan hakim.
"Orang tua kamu masih ada? Kerja gak?" tanya Om Darwin setelahnya.
"Ada Om. Tapi ayah saya sudah gak kerja semenjak sering jatuh sakit. Sementara Ibu saya jualan nasi kuning," jawabku dengan setengah menunduk.
"Kamu mau nikahin anak saya cuma modal k*n**l doang, hah?"
"Kamu pasti ngincer harta saya kan? Biar nanti kalau saya mati, kamu bisa menguasai semua harta anak saya satu-satunya ini!"
"Papah!"
Ucapan Om Darwin yang bernada tuduhan sekaligus hinaan itu seketika membangkitkan hawa panas di dalam dadaku.
"Papah gak seharusnya bicara begitu! Salman bukan laki-laki seperti itu, Pah." Nadia berusaha membelaku di hadapan papanya. Gadis itu bahkan mulai menangis.
"Kamu jadi perempuan jangan bodoh, Nadia! Kita ini orang terpandang, beda sama mereka."
"Terpandang? Di mata Tuhan yang membedakan kita itu cuma amalan, Pah, bukan harta atau jabatan!" Nada bicara gadis itu makin meninggi di sela isak tangisnya.
"Berani kamu menggurui Papah, hah?"
Mata kupejamkan rapat-rapat, hati yang sudah retak kugenggam kuat-kuat. Aku menunduk diam, sebisa mungkin tetap menahan diri agar tidak terbawa emosi dan balik menyerang Om Darwin.
"Masuk ke kamar, cepat!"
"Gak!"
"Papah bilang masuk!"
Aku mendongak pelan ke arah gadis itu.
"Cepat!" Suara Om Darwin naik delapan oktaf. Laki-laki paruh baya itu berdiri tagak menghadap Nadia sambil menunjuk ke lantai dua.
Pandangan kami sempat beradu sesaat sebelum gadis itu memutuskan meninggalkan ruang tamu dengan setengah berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya.
"Berdiri!" Om Darwin melotot ke arahku sambil berkacak pinggang.
"Saya peringatkan! Mulai detik ini jauhi anak saya," ucapnya penuh penekanan beberapa detik setelah aku berdiri.
"Sekarang, lebih baik cepat angkat kaki dari rumah ini," usirnya sambil menunjuk pintu yang menganga menampilkan suasana gelap di halaman.
Telanjur sakit hati. Meski aku sangat mencintai Nadia, mungkin untuk saat ini lebih baik aku mundur dan mengalah saja.
"Ba-baik, Om. Permisi." Dengan perasaan terhina, aku melangkah gontai menuju pintu jati yang sejak tadi dibiarkan terbuka.
"Hah! Miskin aja belagu."
Kalimat bernada hinaan itu kembali berdengung saat langkahku mencapai batas pintu.
Andai saja aku lupa bahwa laki-laki itu papah dari gadis yang kucinta, mungkin saat ini tinjuanku sudah menciptakan banyak memar di mukanya yang arogan itu.
****
Setibanya di depan pagar rumah aku disambut keributan. Terlihat di teras sana, Ibu dan Ayah tengah berdebat hebat dengan dua orang perempuan yang dari suaranya seperti tante Widya dan tante Selvi.
Entah apa yang mereka ributkan, sepertinya ini masalah serius. Bahkan, kedua perempuan itu berani mendorong Ayah yang kurang sehat sampai jatuh.
Kurang ajar! Aku tak akan membiarkan siapapun melukai kedua orang tuaku. Setelah memiringkan motor, aku segera berlari naik ke teras.
"Berhenti!" Aku langsung pasang badan saat dua perempuan itu mencoba menyerang Ibu yang sedang membantu Ayah berdiri.
"Salman! Kamu jangan ikut campur ya? Ini urusan orang tua!" ucap tante Widya sambil melotot dan menunjuk-nunjuk mukaku.
"Urusan kalian urusan saya juga, kalau itu menyangkut kedua orang tua saya!"
"Heh, Salman! Kamu itu gak tahu apa-apa. Cepat minggir!" Dua perempuan itu berusaha menyingkirkanku yang mencoba melindungi Ayah dan Ibu.
"Ibu, cepat bawa Ayah masuk!" Aku berusaha menahan dua perempuan itu.
"Salman, jangan halangi kami!"
Aku mengerang saat lengan kananku mendapat gigitan. Untunglah, ketika dua perempuan itu berhasil lepas pintu sudah lebih dulu dikunci oleh Ibu.
"Awas, ya? Pokoknya kita berdua gak terima kalo tanah warisan yang di depan jalan sana itu jatuh ke tangan Abang!" Bunyi gedebam pintu yang ditendang menjadi akhir perdebatan sengit antara dua adik dan kakak kandung itu.
Setelah sempat mencaci makiku, dua perempuan mata duitan itu pun pergi meninggalkan rumah orang tuaku.
"Dasar sinting! Manusia-manusia gila harta!" umpatku sambil meninju tiang beton penyangga atap teras.
*
*
KAMU SEDANG MEMBACA
MENDADAK KAYA SETELAH DIHINA
General Fiction"Kamu mau nikahin anak saya cuma modal kontol doang, hah?" "Kamu pasti ngincer harta saya kan? Biar nanti kalau saya mati, kamu bisa menguasai semua harta anak saya satu-satunya ini!" "Papah!" Ucapan Om Darwin yang bernada tuduhan sekaligus hinaan i...