2; Alyssa

4.4K 306 8
                                        

Alyssa:
Gel, jadi?
Gue tunggu di hotel.

Bibir Rigel menyunggingkan senyum tipis. Ia letakkan ponsel ke atas meja lalu kembali menyimak obrolan kedua buah hatinya.

"Habis kelas 1, aku mau langsung kuliah aja deh, Pa. Aku tidak suka pelajaran SD. Bikin pusing," keluh Tasya, gadis cilik berusia 6 tahun yang lagaknya kayak ABG. Yang udah ngerti cowok ganteng karena sering nonton drakor sama tante-tantenya.

Rigel tertawa. "Mana bisa, Putri Jelita?"

"Ompong emang aneh!" cibir Miguel, menjulurkan lidah.

"Kakak," tegur Rigel, dibarengi geleng penuh peringatan.

Miguel menghela napas. "Iya, maaf, Papa."

"Kalau adeknya salah, ditegur baik-baik, oke?" ujar Rigel.

Kepala Miguel mengangguk lalu ia alihkan topik. "Pa, aku punya kabar baru!"

"Kabar apa?" tanya Rigel, melahap sesendok nasi sayur asam dan secuil ayam goreng buatan istrinya.

"Ternyata, Pa ..." Ekspresinya terlihat serius seolah apa yang hendak ia sampaikan adalah kabar paling mengejutkan. Dan Rigel menyimak sembari terus menyuapkan sesendok demi sesendok nasi lauk pauk ke dalam mulut. "Upin Ipin udah pindah ke depan Indomaret!" lanjutnya, menggebu-gebu.

Untung Rigel sudah terbiasa dengan kehebohan anaknya, jadi bisa ia kendalikan rasa gelinya tanpa menyemburkan kunyahan di mulut.

"Tapi kata Tante Sashi, Upin Ipin itu ada di Malaysia," ujar Tasya.

Perhatian Miguel tersulih ke sisi. "Iya, kata Om Regas juga begitu. Tapi kemaren pas aku pulang sekolah, aku liat ada Upin Ipin di depan Indomaret. Tapi ..." Jeda, napasnya dihela, "... Upin Ipin yang di depan Indomaret itu udah tua. Jadi yang di TV pas mereka masih kecil."

Obrolan khas anak SD.

Rigel menikmatinya sambil mengisi perut.

"Ooh ..." Tasya manggut-manggut percaya, "Aku mau liat juga dong, Kak."

"Nanti pulang sekolah kita ke Indomaret ya? Tapi sepeda kamu 'kan bannya bocor. Aku nggak bisa boncengin kamu. Nanti Charlotte cemburu," kata Miguel. Kalau si Adek udah paham cogan, maka si Kakak udah paham cewek cantik.

"Iih, kok gitu?!" sungut Tasya, cemberut.

"Kak," tegur Rigel lagi.

"Pa, kata Miss Retta, sepeda aku udah harus ganti," ujar Miguel.

"Masa Miss Retta bilang gitu?" Rigel tentu saja tidak percaya. Anak laki-lakinya ini emang pinter omong. Ada saja kalimat ngawurnya untuk meyakinkan orang-orang di sekitar.

Sambil berdecak, kepala Miguel mengangguk tegas. "Ish, iya, Papa."

"Kan sepedanya Kakak masih bagus."

"Pa, sekarang temen-temen aku pada ganti sepeda listrik," ujar Miguel.

"Kakak jangan pakai itu. Nanti kesetrum," sambar Tasya sok tahu.

"Tapi sepedanya nggak dicharger, ompong! Nggak akan kesetrum," dengkus Miguel lalu kembali menatap si Papa. "Ya, Pa? Please," mohonnya memelas.

Rigel menghela napas. Membelikan sepeda, handphone, atau barang-barang yang kini sudah jadi kebutuhan anak-anak seumuran Miguel dan Tasya bukan hal yang sulit. Tapi masalahnya, ia dan sang istri sudah berkomitmen untuk tidak memanjakan anak-anak. Dan ia juga tidak memfasilitasi handphone, laptop, atau apa pun itu yang sudah dimiliki teman-teman Miguel dan Tasya. Bukan karena ia dan Karina pelit, tapi ada batasan yang harus mereka jaga.

"Nanti ya kalau Papa sudah gajian?" bujuk Rigel, padahal dia pemilik perusahaan. Tapi anak-anaknya selalu percaya kalau dia bilang begitu. Dia tidak ingin mereka memanfaatkan statusnya untuk mendapatkan apa yang mereka mau.

Begitupun Karina. Wanita itu juga nggak pernah bilang kalau dia seorang publik figur yang dikenal banyak orang. Paling kalau Miguel dan Tasya menanyakan kemunculan mami mereka di TV atau sewaktu di jalan—terutama saat di mal, dimintai foto orang-orang, Karina cuma bilang; mungkin karena Mami baik, jadi banyak yang suka. Atau ... memang kadang Mami sering masuk TV, tapi itu buat kerjaan, biar Mami bisa gajian dan ajak kalian makan enak.

Dan kedua anaknya selalu percaya.

"Oke deh," angguk Miguel.

"Cha udah nyiapin jadwal hari ini?" tanya Karina yang masih mengenakan daster.

Rigel menoleh, menatap Karina. Kalau ditanya secantik apa istrinya itu, maaf, Rigel sendiri juga tidak bisa mendeskripsikan—saking cantiknya seorang Karina Nareswari Prambandani. Tapi kalau divisualisasikan mungkin hampir mirip dengan Pevita Pearce.

"Sudah, Mami." Giliran Tasya yang mengangguk. "Semalem habis belajar sama Om Regas, aku langsung siapin jadwal kok."

"Soalnya Om Regas bilang gini, Mi," tambah Miguel, lantas menirukan kalimat yang dilontarkan si paman. "Sekalian siapin jadwal kelen, biar Yang Mulia Rigel kagak ngomel kayak emak-emak komplek." Rigel melotol, bukan kesal pada si sulung, melainkan pada adik bungsunya. Regas Athariz Widjadja. "Pa ..." Tatapan Miguel tersulih padanya. "Emangnya Papa mau jadi hakim ya? Gantiin Om Desta?"

"Emang Om Desta siapa sih, Kak?" sela Tasya.

Karina beranjak duduk di bangku paling ujung.

Selagi Miguel menjawab, "Itu lho temennya Kondre."

"Kondre itu siapa?" tanya Tasya lagi.

"Yang pakai kacamata."

"Ah, aku nggak kenal mereka." Tasya mengedikkan bahu. "Tapi nanti kalau sudah besar, aku nggak mau jadi Papa sama Mami," kata Tasya kemudian, disambut Rigel dengan anggukkan santai.

"It's okay. Kalian harus lebih baik dari kami," timpal Rigel, melirik Karina yang sibuk dengan ponselnya. Dahi Rigel sontak berkerut, matanya memicing curiga sebelum ia tolehkan kepala menatap Karina terang-terangan. "Kalau lagi sarapan, jangan sambil mainan handphone," ketusnya.

Tanpa menjawab, Karina meletakkan ponsel diatas meja.

"Hari ini ada syuting?" tanya Rigel.

Karina menggeleng. "Free. Kenapa?" baliknya.

"Nggak apa-apa." Ganti Rigel yang menggeleng. "Kalau gitu di rumah aja, jangan kemana-mana."

"Aku ada janji sama Milla," kata Karina.

"Mau ke mana?" cecar Rigel.

"Cuma nongkrong di kafe aja kok. Kan siangnya aku mesti jemput anak-anak." Rigel manggut-manggut mendengar jawaban sang istri. "Ya udah, take care. Kalau ada apa-apa, langsung kabari."

"He-em."

Rigel meneruskan sarapan, sesekali menimpali percakapan random kedua anaknya yang ngalor ngidul nggak keruan. Andai calon anak ketiganya tidak diambil lagi oleh Tuhan, mungkin pagi ini dia sudah menggendong bayi lagi. Gantian sama istrinya. Mengulang momen enam tahun silam—saat Tasya baru saja lahir.

Perhaps God has different plans—plan more beautiful than can we imagine.

Membuang napas, ia gelengkan kepalanya perlahan—menepis dilema yang kembali menyentuh sanubarinya. There's no one to blame, especially Karina. She has done her best to take care of things. Kepala Rigel mengangguk samar meyakinkan diri sendiri hingga ponselnya berkedip—menandakan panggilan masuk.

Dari Alyssa.

Rigel segera menggapai ponselnya yang tergeletak diatas meja, lalu menekan tombol hijau seraya bangkit. Ia tinggalkan meja makan dan menyahut, "Ya?" Tanpa sadar kepergiannya itu diawasi oleh sepasang mata Karina yang menyoroti punggungnya dengan pandangan kecewa, disusul kepalan kedua tangan—yang mengindikasikan kemarahan terpendam.

Begin AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang