"Lepaskan aku!" Seorang gadis berteriak pilu saat sebuah tali mengikat pergelangan tangannya sehingga terbataslah gerak gadis itu.
"Diam Beth!" Sahut seorang pria kejam sambil menindih tubuh mungil gadis yang dipanggil Beth itu.
"Sakit, brengsek!" Teriak gadis itu, suaranya benar-benar menyiratkan pilu yang sangat mendalam
Sebuah tamparan melayang ke pipi mulus gadis itu, "Diam sayang." Pria itu berkata halus namun menakutkan.
"Arrrggghhh! Hentikan!"
"Ohh.. Beth! Sudah lama aku menantikan ini sayang." Kata pria itu sambil terus menyiksa gadis cantik itu tanpa mempedulikan teriakan kesakitan yang memenuhi ruangan sempit itu. Pria itu seolah mengoyak tubuh serta jiwa gadis itu.
"Aku bahagia Beth. Ucapkan terimakasih pada Ibu yang telah melahirkanmu, sehingga aku bisa menikmati tubuhmu yang indah ini. Maafkan aku Beth, kau bahkan tidak bisa melihat wajahku. Aku masih terlalu pengecut untuk itu. Aku akan kembali lagi Beth dan aku pastikan kau akan jadi milikku seutuhnya. Selamat tinggal.." Dalam gelap, Beth menangis tersedu. Sakit ditubuhnya tak sebanding dengan sakit dihatinya. Matanya masih ditutupi kain. Hanya terdengar suara pintu di buka lalu di tutup lagi.
"HENTIKAN SIALAN!!!"
"Bethany! Kau tidak apa?" Suara nyaring itu membangunkanku dari mimpi buruk itu lagi. Mengganggu tidurku tiap malam. Membuka sebuah luka lama yang menganga. Aku terduduk di ranjangku lalu menyeka keringat yang bercucuran di dahiku, sedikit lega ketika menyadari, ini hanyalah mimpi buruk
Pintu kamarku terbuka, muncullah sosok Oma Rey yang menatap iba kearahku. Oma Rey mungkin sudah dapat menebak apa yang membuatku berteriak begitu nyaring di tengah malam seperti ini.
"Ak..aku tidak apa hanya mimpi buruk." Kataku sambil kembali mencoba berbaring dan kembali menutup tubuhku dengan selimut.
Wanita paruh baya itu memasuki kamarku dan duduk di samping tempat tidurku, "Tidurlah." Katanya sambil mengusap pelan dahiku, berusaha memberikan kelembutan yanng nyaman untukku.
Aku tahu, Oma Rey pasti sedih melihatku. Kejadian beberapa tahun silam memang cukup menghancurkan aku dan masa depanku. Berobat ke psikiater bukan hal baru buatku. Butuh waktu sekian tahun untuk kembali membuatku seperti gadis—wanita normal. Kesedihan itu kembali menusuk hatiku, aku bukan lagi seorang gadis.
***
Aku tak fokus bekerja hari ini. Aku sering melamun dan mendapat teguran keras dari atasanku. Semua itu gara-gara mimpi sialan. Padahal aku sudah sedikit bisa mengatasinya tetapi entah kenapa mimpi itu melemahkanku lagi.
"Bethany." Panggil John, rekan kerjaku.
"Ya? Ada yang bisa aku bantu?" Tanyaku sambil memaksakan senyumku.
"Tamu kamar 2018 meminta tambahan handuk. Apa kau bisa membantuku? Karena aku cukup sibuk disini."
Kamar 2018? Kamar yang kemarin malamkan? Malas sekali rasanya, "Baiklah."
John memutar kedua bola matanya, "Jangan tersenyum masam seperti itu." Kata John dengan suara menjengkelkan.
Aku bergegas untuk mengantarkan handuk ke kamar pria itu, Tuhan sebenarnya aku tidak siap untuk kembali bertemu dengannya. Dia aneh, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatku tidak ingin bertemu lagi dengannya.
"Room Service!" Teriakku di depan pintu kamar 2018. Perasaanku gugup luar biasa. Apakah hari ini aku harus mendapatkan tatapan intimidasi lagi?
Seorang pria muncul membuka pintu dengan shirtlessnya. Pria ini! Benar-benar tidak sopan. Aku menelan ludahku melihat dada bidang dan perut sixpack dihadapanku. Sadar bahwa sesuatu yang salah tengah terjadi. Aku menundukkan kepalaku.
"Maaf Tuan, ini tambahan handuknya. Anda ingin saya menaruhnya dimana?" Tanyaku setelah pria itu mempersilahkanku masuk.
"Disitu saja." Jawabnya sambil menunjuk sebuah meja kecil.
Aku bergegas menuju meja yang dia maksud. Oh Tuhan semoga ini terakhir kalinya aku berurusan dengan pria ini.
Beberapa saat kemudian terdengar seperti pintu ditutup lalu dikunci. Aku berbalik menatap pria yang dengan angkuhnya berdiri di depan pintu kamar, tatapannya kembali mengintimidasiku. Rasanya aku akan mati hanya dengan tatapan itu saja.
"Ehm.. kenapa anda mengunci pintunya, Tuan?" Tanyaku dengan suara bergetar dan berusaha sesopan mungkin.
"Kenapa kau tak mengingatku?" Bukannya menjawab malah bertanya pertanyaan yang membingungkan.
Aku mengernyit tak mengerti, "Apa kita pernah bertemu?" Tanyaku keheranan. Rasanya, aku tidak pernah bertemu pria ini, apalagi mengenalnya.
Dia berjalan ke arahku dengan langkah dan tatapan mata yang menyeramkan. Postur tubuhnya benar-benar mempesona. Dada bidangnya yang sedikit basah karena mungkin dia habis mandi, sexy... apa yang kau pikirkan Beth? Pria ini aneh, kau sedang dalam bahaya!
Aku mundur perlahan saat tubuhnya benar-benar sangat dekat denganku, "Kalau begitu kau pasti mengingat ini.." Dengan tanpa permisi, pria itu memagut bibirku dengan rakus. Eww ini menjijikan. Aku meronta saat tangannya mencengkramku dengan kasar. Dia menghentikan pagutannya dan menatapku, "Selamat datang kembali, Beth. Kau milikku.." Dia menyeringai.
Seketika tubuhku bergetar tak karuan. Apakah.. apakah dia adalah.. tidak mungkin. Tidak mungkin dia yang memperkosaku beberapa tahun silam. Namun, suaranya.. ya suaranya samar-samar mengingatkanku pada malam itu.
"Bertahun-tahun aku menahan untuk bertemu denganmu Beth sampai aku kehilanganmu. Aku terlalu pengecut untuk bertemu denganmu lagi.. kau bahkan tidak tahu bagaimana rupaku." Pria itu menatapku, tatapan mata yang awalnya mengintimidasi berubah menjadi sendu.
"Apakah kau.." Aku tidak sanggup melanjutkan kata-kataku lagi dan aku berusaha tenang sambil mengatur napasku yang mulai pendek-pendek. Sesak sekali rasanya.
"Aku pria pertamamu, Beth. Apakah kau lupa?" Katanya sambil menyeringai. Tidak!
Kata-katanya membuatku pening. Aku takut. Aku tidak mau bertemu dia lagi.. "Lepaskan aku. Pergilah dari hadapanku! Aku benci kau!"
Aku terus meronta karena dia menahan pergelangan tanganku makin keras dan membuatku kesakitan. Pria ini... pria yang telah menghancurkan hidupku. Beraninya dia muncul di hadapanku lagi.
"TIDAK! Kau. Tidak. Akan. Kulepaskan!" Teriaknya dengan rahang yang mengeras, marah. Kata yang pria itu ucapakan penuh dengan penekanan.
Dalam posisiku yang semakin melemah, dia mendorongku ke tempat tidur dekat meja kecil itu. Menindihku. Aku mendorongnya kuat tapi, dada bidangnya tak bergeming sedikitpun.
"Namaku Xavier Anderson, Beth. Salam kenal." Dia mengecup leherku dan menyesap aromaku dalam-dalam, "Wangimu masih sama seperti dulu.."
Tangannya meraih sesuatu di atas nakas, sebuah suntikkan dengan jarumnya yang runcing dan dengan tergesa ia menyuntikkannya ke lenganku yang dicengkram olehnya. Detik berikutnya pandanganku menggelap. Ya Tuhan, tolong aku!
KAMU SEDANG MEMBACA
Officially Mine (OPEN PO)
RomanceCERITA INI UDAH TAMAT DARI LAMA, PLEASE PEMBACA BARU UNTUK KASIH VOTE DAN KOMENNYA YAAA... MAKASIH BANYAK.. Bethany sudah menduga dari awal bahwa pria dengan seringaian mengerikan itu sedikit aneh. Pria itu gila! Dalam kurun waktu kurang dari 24 jam...