Four O'clock Burn, Giraldville, 1978

3 0 0
                                    

Graceline Jazlyn, nama yang diberikan untuk ku dari seorang Ibu tua yang tinggal di sebuah kota kecil, Giraldville.

Sore itu, seperti biasanya, aku sedang merapikan beberapa berkas dokumen yang berisi informasi penting mengenai barang-barang yang perlu didistribusikan dari para customer.

Aku bekerja pada sebuah kantor pos lokal sebagai tenaga administrasi. Aku hanya perlu berurusan dengan kertas-kertas yang berisikan informasi alamat dan resi para penerima paket.

Sudah seminggu ini, sebuah kotak misterius tersimpan rapi dalam gudang penyimpanan. Bentuk dan ukurannya biasa saja, mungkin sekitar empat puluh kali empat puluh sentimeter dengan bobot kurang dari dua kilogram, seperti paket-paket pada umumnya yang biasa kami salurkan. Yang berbeda dari paket tersebut hanya alamat tujuan pengirimannya saja, Centralia.

Kota tersebut sudah puluhan tahun ditinggalkan akibat kebakaran yang tak kunjung padam. Jarak dari kota tempat yang kini aku tinggali hanya sekitar sepuluh menit, jadi aku dan warga sekitar pun tahu benar bahwa kota itu sudah tak berpenghuni.

Kerabatku sudah berulang kali mencoba menghubungi pengirim paket tersebut untuk mengkonfirmasi, namun tak pernah ada jawaban dan kepastian. Begitu juga pemilik alamat tujuan dari paket tersebut, sama saja.

Aku sendiri tak mau tahu dan juga tak peduli dengan paket itu, tetapi, kerabatku ini benar-benar frustasi karenanya. Ia juga penasaran, apa isi paket tersebut, siapa pengirim dan penerima paket tersebut.

“Grace, aku ingin membuka paket itu,” katanya tiba-tiba.

“Aku tak peduli apapun yang ingin kau lakukan.” jawabku.

Dokumen-dokumen yang menggunung di meja kerjaku sudah cukup membuat aku sangat frustasi saat ini.

Kerabatku yang biasa dipanggil Ian pun berjalan meninggalkan ruangan kerja kami untuk mengambil paket misterius tersebut di gudang penyimpanan. Tak lama, ia kembali dengan wajah berseri.

“Grace, aku rasa isi dus ini berupa bunga Marvel of Peru. Wanginya sangat khas.”

“Bukankah sudah satu minggu di sana? Seharusnya bunga itu mengeluarkan aroma busuk,” komentarku.

“Perlukah aku membukanya?”

“Terserah kau saja.”

Ian meletakkan paket itu pada sebuah meja kosong yang dekat dengan meja kerjanya, mengambil cutter, membukanya perlahan dan hati-hati.

Aku menjadi bingung, sejak Ian meletakkan paket itu, pandangan ku sama sekali tak pernah terlepas darinya, dan kini ia mematung menatap isi paket tersebut yang telah berhasil ia bobol.

“Ian, ada apa?”

“G-Grace ...,”

“Ada apa, Ian? Katakan padaku. Haruskah aku mencari bantuan polisi?”

“A-Apa ini, Grace?”

Aroma wangi bunga Four O’clock semakin menguar beriringan dengan pucatnya wajah Ian. Aku menghampiri Ian perlahan. Hatiku gelisah, degup jantungku tak karuan hingga aku bisa mendegar suara detaknya. Bahkan aku bisa merasakan desiran aliran darahku sendiri saat ini. Aku hampir seperti menggila dalam diam.

“Ian?”

Tatapan mata Ian semakin terkunci pada paket itu, ia tak lagi menjawab panggilanku. Aku panik tak karuan, namun juga tak bisa berlari menjauhi Ian, aku terpaku di tempatku yang berjarak beberapa meter dari tempat Ian kini berdiri.

“Ian?” sekali lagi, aku mencoba menyadarkan Ian, namun lagi dan lagi Ian tak juga merespon panggilanku.

Setelah beberapa menit, aku mengatur nafasku sembari mengumpulkan sebanyak mungkin nyali untuk mendekat kearah Ian.

.
.
.

Disana, didalam kotak paket itu, abu hitam dari seikat bunga Four O’clock.

***

Four O'clock BurnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang