Nafa

2 0 0
                                    


Sudah ke sekian kalinya nafa meilirik jam tangan biru di pergelangan kirinya.

3.40

Sejam berlalu sejak dia duduk di sudut meja Pizzeria sambil sesekali melirik cemas kearah pintu masuk, tapi tiap kali lonceng pintu bergerincing tiap pintu berderak terbuka, tiap kali pula ia merasakan hatinya mencelos. Hari ini cukup mendung dan berangin, tidak banyak orang yg keluar masuk di restaurant pizza favorite nya tersebut.

Es batu dalam soda yg dipesannya sejam yang lalu telah mencair berganti dengan embut disekeliling gelas dan sedikit menggenangi meja. Satu slice margherita nya bahkan sudah dingin tak tersentuh sama sekali. Perasaannya gundah, matanya sedikit sembab senada dengan cuaca kota jakarta hari itu. Mendung dan sedikit berangin.

Ia kembali mengambil handphone nya. Layar bergambar winnie the pooh yg sedang menyantap madu menatapnya dengan kosong. Tidak ada notifikasi.

Semalam ia bertengkar dengan pacarnya, Ryan. Masalah yang cukup sepele. Namun seperti biasa, tiap kali ada yang diributkan, mereka berdua seringkali tidak bisa mencari jalan keluar. Semua terasa berbeda setelah 2 tahun lamanya. Saat masa-masa awal pacaran. Semua terlihat dan terasa manis. Tidak ada pertengkaran yang berarti.

Namun berbeda seperti saat ini, hubungan mereka seperti tergerus oleh kesibukan masing-masing. Tidak ada titik temu. Tidak ada kecocokan. Semua hal seperti menjadi pemicu pertengkaran. Waktu kerja yang padat, akhir pekan yang sama-sama menyibukkan. Mereka jarang sekali bertemu bahkan untuk menghabiskan waktu bersama.

Nafa memejamkan mata menahan rasa sesak yang kembali menghantam dadanya. Ia tidak ingin menangis di tempat umum. Itu sangat-sangat memalukan. Terakhir kali ia bahkan menangis karena bertengkar dengan Ryan di salah satu cafe saat acara ulang tahun sahabat Nafa. Hanya karena Ryan tiba-tiba ingin kembali ke kantornya untuk sesuatu yang katanya mendadak. Awalnya mereka hanya saling berbisik dan berkompromi. Namun nada suara dari masing-masing sudah naik satu oktaf dan akhirnya mereka saling berteriak dan berakhir Nafa menahan air matanya untuk tumpah didepan sahabat-sahabat nya. Ia telah berubah menjadi sangat menyebalkan sejak berpacaran. Padahal ia tidak ingin dicap sebagai mood-killer.

Lamunan nya terbuyar saat notifikasi whatsapp masuk ke handphone nya.

"aku ga bs ksana skrg, ada urusan penting yg ga bs ditinggalin."

Nafa hanya terpaku memandang layar handphone nya. Mungkin Ryan memang sudah tidak ingin merpebaiki hubungannya. Mungkin tidak ada yang bisa diperbaiki lagi. Tidak ada yang tersisa untuk dipertahankan.

3 bulan terakhir, semuanya sungguh merenggang. Sikap Ryan padanya, tatapan lelaki yang dicintainya 2 tahun belakangan. Dia mengingat ingat dimana semua nya mulai rapuh.

Nafa mencoba mengetik kata-kata untuk membalas pesan Ryan, tapi entah bagaimana ia harus membalasnya. Perasaan nya campur aduk. Sedih, gundah, kecewa?. Ia mengetik lalu menghapus, lalu mengetik lagi tapi kemudian tidak memutuskan untuk tidak membalasnya saja.

Nafa terduduk lesu di kursinya menghela napas panjang. Matanya panas, dadanya sesak. Ia teringat kembali masa-masa indah saat mereka berdua masih menghabiskan waktu bersama-sama.

Sekarang untuk mengingatnya pun, dadanya terasa sakit.

Ia tidak bisa seperti ini terus. Merana akan hubungan percintaannya. Tidak bisa makan, tidur ataupun melakukan hal yang ia sukai. Ia harus bangkit dan melupakan semua tentang Ryan. Dan melanjutkan hidup. Toh, dia masih memiliki sahabat-sahabat yang baik yang akan mendukungnya di kala terpuruk. Namun semua tentang Ryan tidak bisa begitu saja ia hapus dari benaknya. Paling tidak secara instan. Ia butuh waktu.

Ia mengambil soda nya lalu menyesap sedikit. Rasanya sudah seperti air putih karena es yang sudah mencair. Ia menimbang-nimbang untuk melakukan potongan rambut baru. Atau mewarnai rambutnya. Hal yang tidak bisa dilakukan ketika ia masih berpacaran. Setitik semangat muncul dibenaknya. Ia harus bangkit, dan move on.

Bel pintu berdering ketika seseorang membuka pintu Pizzeria membuat Nafa melirik kearah lelaki yang berderap masuk dengan sedikit berlari. Sesaat pandangan mereka bertemu, lelaki yang mengenakan kaos bergambar disney dan celana pendek selutut menatap kearahnya balik. Sepersekian detik tatapan mereka bertemu.

Entah ini hanya khayalan nya atau lelaki itu seperti sedikit melempar senyum kearahnya. Dan sesaat pula Nafa terhanyut dalam warna cognac mata lelaki tersebut. Tidak ingin kepergok memandangi pria lain saat suasana hatinya seperti ini, Nafa membuang pandangan nya. Ia seperti merasa bersalah karena sudah mengagumi pria lain. Tapi bukankah sekarang ia resmi jomblo? Tentu saja, tapi entah kenapa ia masih merasa seperti terikat dengan pria lain.

Lelaki tersebut mengambil meja diseberang Nafa lalu duduk. Seorang pelayan menghampiri lalu mencatat pesanan lelaki tersebut lalu melesat kedapur.

Suasana cafe cukup sepi hari itu, hanya ada ia, lelaki tersebut dan seorang pengunjung lain di sudut paling ujung Pizzeria dekat jendela. Suasana Pizzeria memang cukup sepi di jam kerja seperti ini, kecuali saat makan siang. Restauran berkonsep minimalis tersebut sudah menjadi favorit dari Nafa beberapa tahun belakangan. Minuman dan makanan yang ditawarkan cukup affordable dan suasana Pizzeria sangat tenang dengan alunan musik jazz modern. Tapi satu hal yang paling membuatnya jatuh cinta dengan restauran ini adalah pizza nya yang benar-benar enak. Ia tidak tahu seperti apa rasa se-authentic pizza italia. Tapi, Pizzeria menyajikan pizza paling enak yang pernah ia makan.

Sesekali Nafa melirik kearah lelaki dihadapan nya. Entah pesona apa yang dimiliki lelaki tersebut, tapi jantungnya sedikit berdegup saat ia menatap sembunyi-sembunyi ke arah lelaki tersebut. Rambut lelaki tersebut disisir rapih kebelakang namun beberapa helai jatuh menutup dahinya. Kulitnya cokelat bersih dan alisnya tajam. Terlihat sedikit brewok yang seperti baru dicukur menghiasi garis rahang lelaki tersebut.

Ya ampun. Kenapa dia begitu tidak sopan dengan memperhatikan lelaki asing yang ditemuinya di sini. Lelaki tersebut sibuk menatap ke layar handphone nya sambil sesekali menyesap minumannya.

Tidak ingin berlama-lama menontoni pria asing dihadapannya, Nafa mengambil tas nya, merogoh selembar uang lalu membayar dikasir. Setelah menerima kembalian dan memberikan tip, ia melangkah keluar dari Pizzeria. Sedetik pandangan mereka bertemu lelaki tersebut memandang kembali kelayar handphonenya. Nafa meninggalkan Pizzeria dengan perasaan campur aduk, ia masih sedikit sedih tapi juga ada sesuatu dalam dirinya tentang lelaki yang di lihatnya tadi. Sedih, mungkin ia tidak akan pernah bertemu lelaki itu lagi. Tapi tidak mungkin juga ia mengajak orang asing tersebut berkenalan.

4.16

Satu tempat yang dipikirannya yang akan ia tuju hanya satu. Anggie.

—————————————-

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The PizzeriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang