"Maaf, ini tempat duduk saya," Raka berujar dengan datar saat melihat seorang gadis berambut panjang yang diwarnai ash brown duduk di kursi miliknya.
Raka mencoba untuk nggak marah-marah di pagi hari yang cerah dan bahagia ini. Apalagi dia baru pulang liburan. Tiga harinya bakal sia-sia kalau dalam perjalanan pulang ke Jakarta harus diwarnai dengan emosi negatif berbentuk kejengkelan dan kemarahan.
Tapi sayangnya, Raka paling kesal kalau ada orang nggak bisa ikut aturan begini. Ngapain dia sengaja pesan tiket kereta jauh-jauh hari supaya bisa duduk di dekat jendela kalau ujung-ujungnya dipakai orang?
Gadis itu menengok dan Raka tercengang sebentar—dia agak terlambat menaikkan salah satu alisnya. Wajah gadis yang mengenakan blouse warna putih dan celana jeans warna biru itu dipenuhi air mata. Raka jadi merasa nggak enak sendiri udah marah-marah. Meskipun marah-marahnya dalam hati.
"Oh maaf," kata gadis itu lalu berdiri. Dia mempersilakan Raka untuk duduk di kursinya sementara gadis itu minggir.
"Saya berubah pikiran," kata Raka tiba-tiba. "Kamu duduk di sana. Saya duduk di sini nggak apa-apa."
Kini gantian gadis itu yang tercengang. Dia mengedipkan matanya dengan bodoh seolah nggak memercayai telinganya—lelaki di depannya berbaik hati untuk bertukar kursi.
Raka juga sebenarnya nggak memercayai mulutnya sendiri. Raka Prabawa yang nggak pernah bisa ngalah baik di rumah maupun di kantor, tiba-tiba kesambet malaikat lalu mau bertukar kursi dengan orang asing yang tampaknya sudah menangis selama dua hari dua malam ini.
"Serius?" tanya gadis itu lagi.
Raka mengangguk—meskipun ada sedikit penyesalan di hatinya. Tapi nggak mungkin dia menarik omongannya lagi, lalu bilang, "Nggak jadi deng, saya tetap mau duduk di dekat jendela."
Bahkan kata-kata itu terdengar bodoh di kepalanya.
"Yang penting saya sampai Jakarta," kata Raka pada akhirnya.
Gadis itu tersenyum gembira—dan nggak tahu kenapa, Raka lega melihatnya. Seenggaknya, dia nggak terlihat menyedihkan terus menerus dengan wajah banjir air mata begitu. Hitung-hitung nambah pahala buat dirinya sendiri, karena selama ini, Raka nggak pernah mau kalah sama orang lain.
"Thank you," katanya sambil kembali duduk di kursi yang seharusnya milik Raka. "Kamu baik sekali."
Raka mengedikkan bahunya lalu mulai menata barang bawaannya. Emosinya mulai naik lagi ketika melihat rak bagasi hampir penuh dengan barang milik penumpang lain—yang kemungkinan besar milik gadis itu.
"Ini barang kamu?"
Gadis itu menengok lagi, lalu mengangguk minta maaf.
"Mama bawain saya banyak barang," katanya lalu berdiri lagi. Dia mencoba mengambil salah satu tas besar miliknya untuk diturunkan.
Raka buru-buru menangkap tas besar itu sebelum jatuh menimpa si gadis.
"Hati-hati," kata Raka memperingatkan. "Lagian, nggak perlu repot juga nurunin barang kamu. Saya masih bisa pakai space di sebelah."
"Gimana saya nggak buru-buru turunin barang kalau tampang kamu begitu?" ujar si gadis. Dia terdengar agak jengkel.
"Emang tampang saya kayak gimana?" Raka balik menantang. Perasaan tampang dia biasa-biasa aja. Bahkan ganteng di atas normal menurut orang-orang.
Gadis itu tiba-tiba menyodorkan kaca kecil ke depan wajah Raka. Mengayun-ayunkannya agak agresif—dan Raka sekilas bisa melihat bayangan wajahnya. Dahi dan hidungnya berkerut tanpa sadar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Six Hours Eleven Minutes (ONE SHOT)
Fiction généraleWhat could happen within six hours and eleven minutes? Sebuah cerita pertemuan pertama yang biasa-biasa aja.