Kenapa Kami Tidak Kaya?

5 0 0
                                    


💞💞💞


Kapan kami kaya?

Kalimat seperti itu terus yang Ibu dan Abang ku suarakan kepada Bapak. Jika saja tidak dosa untuk menyakiti sesama. Sudah ku gunting lidah mereka. Aku tidak tahan kalau mereka terus-terus saja menyiksa Bapak yang hanya mampu menjual rujak gerobakan.

"Kapan sih kita kaya nya? Lihat tuh si Engkus. Udah bisa beliin mobil buat binik sama Anaknya. Kalau tau bakal hidup melarat. Ibu ogah nikah sama, Bapak!" telingaku memekak, saat Ibu dengan beraninya membandingkan Bapak dengan mantan pacarnya yang tinggal hanya bersebrang desa dengan kami. Tapi, Bapak hanya tersenyum saja sambil menata mangga muda di gerobak.

"Kalau mau kaya, cukup setiap hari jangan tinggalin shalat sunnah qobliyah subuh, lebih baik dari dunia dan seisinya, Buk. Pahalanya menggunung. Melimpah. Kita kaya di hadapan Allah."

Aku juga bukan ahli ibadah. Kadang shalat, kadang enggak. Tergantung mood. Tapi untuk memaksa keadaan kaya, aku tidak terlalu seperti Ibu dan Abang. Sampai di mana aku ikuti ucapan Bapak yang setiap hari akan ia bisikan di telingaku jika waktu Adzan subuh sudah tiba.

Dulu yang terasa berat. Mengapa sekarang terasa ringan dan ingin sekali ku lakukan? Aku menanti esok pagi, sebelum subuh. 

🌾🌾🌾🌾

Prang.


Ibu melempar baskom kosong ke arah punggung Bapak yang tengah mengelap gerobak buah dengan kain lap. Ibu terus mencerca Bapak yang asik mendengarkan lagu Maher Zain dari ponsel yang tidak sengaja Bapak temukan di jalan setelah pulang berjualan.


Bukan maksud hati untuk mengambil yang bukan haknya. Tapi, melihat barang itu tergeletak begitu saja di jalanan Bapak tidak sampai hati untuk membiarkan. Ia lekas bawa setelah mengadukan benda tersebut ke pos satpam kampus. Kampus di mana aku menimba ilmu. Karena di depan kampus lah ia menemukan benda pipih tersebut.


"Genteng bocor, Pak. Kok diem aja sih!" seru Ibu.


Bapak menghentikan aktivitasnya. Menoleh ke arah Ibu yang tengah berkacak pinggang di bingkai pintu utama rumah kami. "Iya, Buk. Nanti, Bapak betulin."


Ibu semakin melototkan matanya. "Udah tiga hari, Bahrun! Kamu terus aja janji-janji. Lagi musim hujan sekarang. Aku capek kalau harus ngepel terus!" Ibu semakin menggila dengan kemarahannya. Beliau sampai tidak sadar menyebut nama Bapak tanpa rasa hormat sama sekali.


Bapak yang begitu mencintai Ibu apa adanya, dengan kerewelan yang di atas rata-rata, bahkan jika aku sebagai suaminya. Aku pasti sudah berlari menghindar dari wanita ini. Tapi, Bapak? Tetap memuliakan Ibu. Tentu dengan caranya.


"Ya sabar dong cah Ayu. Kemarin ban gerobak pecah. Uang buat beli genteng jadi dialihin buat beli ban dulu. Sabar, ya. Insya Allah dua hari lagi bisa beli genteng," balas Bapak kepada Ibu sembari membelai rambut Ibu yang terlihat semrawut. Ibu hanya menghentakkan kaki, kemudian masuk dengan gerutu di bibir.


Aku yang sedang menggoreng telur untuk sarapan kami di dapur hanya bisa mengusap dada. Bisa tidak sih, kalau tidak ada ribut-ribut sehari aja?

Kapan Kami Kaya ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang