Aku Gengsi

0 0 0
                                    

Sinar cinta yang menggebu-gebu tak urung turun dari manik mataku yang legam. Aku terus memperhatikan bagaimana Kak Farhat dengan cekatan mengobati luka melepuh di kakiku Bahkan saat lelaki ini berkali-kali menanyakan ...

"Sakit nggak? Al?" Kak Farhat mengerutkan dahi karena aku seakan gagu mendadak. Aku asik lurus, fokus dan menikmati rasa suka yang terus berbuih. Tidak menggubris pertanyaannya.

Sudah gagah, baik, putih, pintar dan calon Dokter lagi. Moga aja jodohnya aku, ya, Kak. Jangan sama cewek lain. Kalau emang harus sama cewek lain. Moga aja ceweknya mati, terus aku yang gantiin. Haha, paksa ku tidak tahu diri.

"Sakit, Al?" Kak Farhat kembali mengulang. Sudahlah, aku sudahi aktivitasku halu ku saat menatap wajahnya lama, untuk terbangun menjawab pertanyaannya.

"Enak, Kak ...." buru-buru aku melipat kedua bibir ini saat lidah yang rasanya tidak bertulang akan berkhianat karena akan membuat ku malu, Kak Farhat sontak menautkan alis. Ini mulut memang enggak bisa di kontrol.

Aku menyengir kuda. "Maksudnya enggak, Kak. Udah cukup enakan nih gak terlalu panas kayak tadi," jelas ku padanya.

Kak Farhat tersenyum dan mengangguk. "Tadi Kakak pakaikan salep. Salep ini bisa menekan memar akibat luka bakar. Biar nanti malam enggak bengkak. Ini ambil aja buat kamu. Kalau bisa jangan sampai basah kena air, ya."

Aku tersenyum penuh cinta padanya. Mungkin di matanya aku seperti orang gila. Dan orang gila beneran nya datang di saat waktu yang tidak tepat. Mobil Bilmar menepi di belakang mobil Kak Farhat. Lelaki itu menurunkan jendela mobil dan menatapku tidak percaya karena tengah duduk berhadapan dengan Kak Farhat di atas tanah. Ia lekas turun dari dalam mobil, dengan langkah panjang mendekati kami berdua.

Duh.

Ngapain lagi sih nih tokek belang? Bisa nggak jangan ganggu keharmonisanku bersama Kak Farhat, sekarang? Gini-gini kan aku calon Kakak Iparnya.

"Eh item, ngapain lo di sini?" tuh kan mulutnya. Dasar bibir tebal. Di kira dia sendiri putih kali. 

Pede banget!

"Main item-item. Kamu juga enggak kalah item, Dek," balas Kak Farhat kepadanya.

Bilmar berjongkok, ikut menilik luka di kakiku. "Udah item, kaki jadi budukan. Al ... Al. Mau jadi cewek apa, lo?" dia tertawa meledekku.

Manik mataku membulat, aku tidak terima di katakan buduk. "Enak aja, lu! Nih, lihat kaki gue mulus!" Kak Farhat sampai kaget saat aku menarik rok ku ke atas sampai ke pertengahan betis. Pun dengan Bilmar yang malah melohok takjub. Mulus kan?

"Tu---turun--turunin, Dek. Ini aurat, jangan dibuka-buka," tukas Kak Farhat tergagap. Lelaki itu seakan kaget mengapa aku sebar-bar itu.

Deg.

Jantungku rasanya dipelintir. Sindiran halus Kak Farhat membuatku tergugu. Mana mungkin ia suka dengan aku yang seperti ini. Memakai hijab saja tidak. Rambut semrawut. Aku memang hanya menanti keajaiban untuk menggapainya.

"Ini bukan buduk. Tapi luka melepuh," jelas Kak Farhat kepada Bilmar.

Bilmar mencebikkan bibir. "Lama-lama jadi buduk."

"Terus kalau jadi buduk, masalah lo apa, Bil?" Aku mengeratkan gigi padanya.

"Ya bodo amat. Mau buduk kek, kena luka bakar kek, mau jadi tompel kek. Mang gue pikirin," selorohnya tidak habis-habis. Kesal hatiku. Bangke banget ketemu anak curut ini di sini.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Kapan Kami Kaya ?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang