"Eh, Mas Saga." Sakina mengangguk singkat pada majikannya tersebut. "Ini ... euh, cuma nguap," terang Sakina seraya mengusap bagian bawah matanya.
"Kok mukanya sampai sembab gitu?" selidik Saga.
"Masa, sih? Perasaan Mas Saga aja kali." Sakina tertawa kecil sebelum kembali berbicara, "Saya permisi, Mas. Mau antar baju dulu."
"Sini baju saya."
Ucapan Saga membuat Sakina urung melangkah. "Buat apa, Mas?"
"Biar saya bawa sendiri." Saga mengulurkan tangannya.
"Biar saya aja, Mas. Nanti Mas Saga–"
"Saya apa?" sela Saga diiringi tatapan tajam. Membuat Sakina seketika terdiam. "Saya masih bisa ngelakuin apa-apa sendiri. Sini baju saya."
"Iya, Mas." Sakina mengangguk. Kemudian, kembali meletakkan keranjang cucian di meja. Dia memilah pakaian milik Saga dan menempatkannya ke keranjang yang lebih kecil.
"Terima kasih," ucap Saga saat menerima keranjang berisi pakaiannya dari Sakina.
Laki-laki itu terlihat kesulitan saat memutar roda kursinya. Membuat Sakina tergerak untuk membantu Saga agar bergerak lebih cepat dan leluasa.
"Mau ngapain kamu?" Suara Saga terdengar tajam saat bertanya pada Sakina. Perempuan itu menyentuh pegangan kursi roda di bagian belakang.
"Saya ... bantu Mas–"
"Saya nggak butuh dibantu," ketus Saga. Sakina kembali terdiam. "Apa kamu pikir, karena saya cacat, jadi nggak bisa lakuin apa-apa?"
"Mas, saya nggak bermaksud begitu," sanggah Sakina.
"Nggak usah coba-coba bantu saya lagi," tegas Saga. Sakina kembali menarik tangannya dari pegangan belakang kursi roda.
"Maaf, Mas," ucap Sakina lebih seperti menggumam.
Tanpa menjawab apapun, Saga melanjutkan memutar roda kursinya dan berlalu meninggalkan Sakina yang masih mematung di ruang seterika. Perempuan itu menghela napas. Bukan maksudnya meremehkan Saga. Sakina hanya peduli. Namun, terkadang kepedulian orang normal bisa disalah tanggapi oleh penderita difabel.
Berusaha menghibur diri akibat mengingat kenangan menyedihkan serta mendapat ucapan ketus dari Saga, Sakina melanjutkan aktivitasnya. Di rumah ini, lemari penyimpanan selimut, handuk, hingga seprai dan sarung bantal terletak di ruang seterika. Sehingga, Sakina tak perlu beranjak untuk menyimpan cuciannya.
Selama bekerja di rumah ini, Sakina belum pernah memasuki kamar Saga untuk mengganti seprai. Laki-laki itu hanya meminta seprei baru beserta selimutnya dan mengantar sendiri seprai dan selimut kotor ke ruang laundry. Ketika membersihkan rumah pun, Sakina belum pernah memasuki kamar Saga. Laki-laki itu sepertinya selalu membersihkan kamarnya sendiri. Karena, terkadang dia meminjam sapu atau vacuum cleaner.
Sesaat setelah selesai menyimpan semua selimut dan handuk, terdengar teriakan dari kamar belakang disusul tangis pilu. Sakina ingat, kamar tersebut ditempati Bapak dan Ibu Dibyo. Perempuan tersebut bergegas menuju kamar belakang dan mendapati pintunya terbuka. Tampak Bu Dibyo bersimpuh di lantai seraya menutupi wajahnya. Bahu wanita itu bergetar, sementara Pak Dibyo menenangkan istrinya.
"Pak," panggil Sakina yang membuat Pak Dibyo mengangkat pandang. Perasaan Sakina mendadak tak enak melihat kedua mata Pak Dibyo juga berkaca-kaca. "Wonten nopo?²⁴"
"Ibu baru dapat kabar dari Papua, Mbak," jawab Pak Dibyo susah payah. Sakina dengan sabar menunggu pria paruh baya tersebut melanjutkan ucapannya, "Anak kami yang nomor dua ... tugas di sana. Di daerah rawan konflik. Pagi tadi ada serangan kelompok bersenjata waktu dia mengawal pengungsi dan ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
KULACINO [TAMAT]
Romance"Kai, seandainya kamu seekor hewan, kamu mau jadi apa?" "Mungkin, penyu." "Penyu?" "Ya. Perenang andal, pembersih laut, usianya panjang, dan satu lagi, dia setia. Penyu hanya punya satu pasangan seumur hidupnya. Sejauh apapun dia pergi, dia pasti...