18. UNIT INTENSIF

121 36 75
                                    

Sakina terdiam sejenak di tempatnya sebelum berlari memasuki rumah menuju perpustakaan. Saat dia tiba, Sakina mendapati suasana yang membuat perasaannya tiba-tiba kalut.

Kursi roda Saga terguling, sementara pemiliknya terbaring di lantai. Terlihat Pak Dibyo sedang melakukan usaha pertolongan pertama. Pria tersebut menekan dada Saga beberapa kali seraya memanggil namanya. Merasa tidak berhasil, Pak Dibyo menepuk-nepuk pipi Saga dengan tetap memanggil namanya.
Namun nihil. Laki-laki tersebut tetap tak bergerak. Wajah Pak Dibyo mulai dilanda cemas.

Kemudian, dia menoleh pada Danta yang masih di ruangan tersebut. “Mas siapa?”

“Saya Danta, Pak. Mahasiswa KKN. Ke sini ada perlu dengan Mas Saga,” jelas Danta.

Pak Dibyo mengangguk-angguk paham. “Bisa bantu saya angkat Mas Saga ke mobil? saya harus bawa ke rumah sakit.”

Mendengar ucapan Pak Dibyo, kedua mata Sakina membelalak. “Kok harus ke rumah sakit, Pak?” sahut Sakina.

Pria paruh baya tersebut menoleh. Sejenak terdiam sebelum menjawab pertanyaan Sakina, “Ini … harus diperiksa sama dokter, Mbak. Karena Mas Saga akhir-akhir ini sudah jarang pingsan.”

“Akhir-akhir ini? Berarti biasanya dia pingsan?” cecar Sakina.

“Mbak Kina bisa tanya nanti saja? Saya harus bawa Mas Saga ke rumah sakit.” Pak Dibyo mengingatkan.

Sakina akhirnya menurut. Tiba-tiba saja banyak pertanyaan di kepalanya. Namun, dia harus menahan diri. Saga lebih membutuhkan pertolongan untuk saat ini. Maka, sakina mendahului Pak Dibyo dan Danta keluar rumah. Dia membukakan pintu mobil untuk memudahkan kedua pria tersebut memasukkan Saga ke dalamnya.

Pak Dibyo meminta Sakina menurunkan sandaran bangku tengah hingga membentuk bed sebelum menempatkan Saga dengan hati-hati. Laki-laki tersebut belum sadarkan diri. Pak Dibyo memeriksa denyut nadinya dan tampak gusar. Setelah memastikan Saga aman, Pak Dibyo menutup pintu mobil dan berbicara kepada Danta.

“Terima kasih atas bantuannya, Mas Danta. Mohon maaf kalau Mas Saga sedang dalam kondisi kurang baik,” ucap Pak Dibyo.

“Sama-sama, Pak. Kalau begitu, saya pamit dulu,” ucap Danta.

“Silakan, Mas. Nanti kami hubungi lagi setelah Mas Saga membaik.”

“Baik, Pak. Semoga Mas Saga segera sehat. Mari, saya pulang dulu,” pamit Danta. Dia juga berpamitan kepada Sakina sebelum menaiki motornya dan meninggalkan tempat tersebut.

“Mbak Kina,” panggil Pak Dibyo pada Sakina yang masih berdiri di dekatnya. Perempuan tersebut menoleh sebagai respons. “Ikut antar ke rumah sakit, ya.”

“Eh. Nggak usah, Pak. Saya jaga rumah aja,” tolak Sakina.

“Nggak apa-apa. Mbak ikut saja, nggih,” tegas Pak Dibyo.

Sakina sedang malas berdebat. Akhirnya dia pamit sejenak untuk mengabil beberapa perlengkapan dan kardigan sebelum menaiki mobil dan meninggalkan rumah tersebut.

Pak Dibyo menyetir lebih cepat kali ini. Sampai membuat jantung sakina berdebar-debar. Takut jika tiba-tiba kendaraan yang mereka tumpangi menabrak pengendara lain atau pembatas jalan. Yang bisa Sakina lakukan hanya merapalkan doa dan solawat dalam hati. Sambil beberapa kali menengok ke bangku tengah untuk melihat keadaan Saga.

“Pak Dibyo,” panggil Sakina. “Ini bukannya arah ke Kota Jogja?” tanyanya saat menyadari jalan yang mereka lalui. Bahkan, tidak ada tanda-tanda kendaraan tersebut akan berhenti.

“Memang, Mbak,” jawab Pak Dibyo dengan masih tetap fokus pada jalan. “Dulu saya sering bolak-balik antar Mas Saga ke Kota Jogja buat berobat.”

“Memangnya, Mas Saga sakit apa? Apa nggak bisa berobat ke Puskesmas atau klinik aja?” Sakina masih penasaran.

KULACINO [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang