Double up karena lagi seneng。◕‿◕。
Juna tak bisa tenang sejak berbisah dengan Juan sore tadi. Ia terus memikirkan adiknya itu. Perasaannya tidak enak. Ia yakin terjadi sesuatu dengan adik se-ayahnya itu. Tapi, ia berharap ini hanya perasaannya saja. Ia harap Juan baik-baik saja.
"Kenapa, sih, Jun? Dari tadi lo kayak gelisah gitu," tanya Jay yang memang berada di dalam kamar sang adik.
Juna menghela napas gusar, kemudian menatap sang kakak. Terlihat kakaknya itu sedang menikmati tontonan di layar laptop-nya.
"Lo benar-benar nggak penasaran siapa anak Ayah, Bang?" Alih-alih menjawab, Juna justru melontarkan pertanyaan.
Jay yang tadinya fokus menatap layar laptop-nya, kini menatap sang adik penuh selidik, namun hanya sesaat karena ia kembali fokus pada laptop-nya.
"Nggak!"
"Kenapa?"
"Ngapain, sih, Jun ngebahas anak haram itu? Dia nggak penting, jadi nggak usah dibahas. Toh, Ayah juga nggak peduli sama dia," katanya tanpa mengalihkan fokusnya.
Tanpa sadar tangan Juna mengepal. Ia tidak suka dengan perkataan sang kakak. Mau bagaimanapun Juan tetap adik mereka. "Tapi, dia tetap adek kita. Masa lo nggak peduli, sih, Bang," ujarnya.
"Dia bukan adek gue. Adek gue cuma lo!" tegas Jay tak terima dengan ucapan Juna. Anak haram itu bukan adiknya, sekalipun mereka memilik ayah yang sama. Selamanya adiknya hanya satu, yaitu Juna. Tidak ada yang lain.
"Terserahlah."
Juna melangkah keluar, ia kesal. Berbicara dengan Jay membuatnya semakin resah.
.
.
.Sejak kemarin Juan mengurung diri di kamarnya. Juan benar-benar tak tau harus bagaimana lagi. Ibu benar-benar membuangnya. Lalu setelah ini Juan harus ke mana?
Tatapannya fokus pada dinding kamarnya. Ia sedang memikirkan di mana kah ia harus tinggal setelah sang ibu menikah. Apa yang harus ia lakukan?
Juan tak berniat menyerah karena ia masih punya alasan untuk bertahan. Ia masih diberi kesempatan oleh Tuhan. Lagipula ia masih bisa kan menemui sang ibu meski nantinya tak lagi tinggal di bawah atap yang sama.
Hari ini ia tidak ke sekolah, alasan utamanya adalah tidak ingin bertemu Juna. Ia malu bahwa ternyata dirinya adalah anak dari ayah Juna.
Berbicara tentang Juna, ia kembali teringat dengan sosok Rajendra. Masih tak menyangka jika sosok penuh wibawa itu adalah ayahnya. Pantas saja sang ayah membuangnya, lagipula apa yang diharapkan darinya yang bukan apa-apa jika dibandingkan dengan Juna yang banyak kelebihan.
Hah.
Waktu sudah menunjukan pukul tiga sore, sebentar lagi ia harus berangkat ke kafe. Ia tak mungkin bolos berkerja lagi yang ada ia akan dipecat jika sampai bolos lagi.
"Semangat, Juan!"
Juan mulai membersihkan diri, dari tadi pagi ia memang belum mandi. Maklum saja, ia hanya rebahan bak seseorang yang tidak memiliki semangat hidup.
Sekitar dua puluh menit, Juan sudah rapi dengan pakaiannya. Kaos oblong berwarna hitam dengsn celana jeans hitam, tak lupa ia mengambil hoodie abu-abunya.
Butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di kafe tempatnya bekerja. Sore ini kafe lumayan ramai, wajar saja karena ini sudah jam pulang sekolah. Beberapa anak SMA sudah ada di dalam.
"Eh, Ju? Kemarin kemana aja?"
Juan disambut dengan pertanyaan dari Kelvin. Laki-laki itu tampak khawatir dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Juan [END]
Fiction généraleIni bukan kisah romansa dimana si pangeran sekolah jatuh cinta dengan primadona sekolah, bukan pula kisah si badboy yang jatuh cinta dengan seorang gadis polos, apalagi kisah si tukang bully yang jatuh cinta dengan korbannya. Sekali lagi ku ingatkan...