| Prolog

6 5 0
                                    

°°°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

Hujan datang menyerbu. Dingin datang menusuk tulang. Gadis itu berdiri sembari menggigil di bawah naungan atap halte bus antar-jemput.

Sang gadis hanya bermodalkan seragam sekolah dan sepatu basah yang melekat pada tubuh dan kakinya untuk bertahan dalam angin yang terus berlalu lalang. Dia masih setia menanti sopir bus yang tak kunjung datang.

Matanya sesekali mengikuti gerakan beberapa siswa-siswi yang dengan sengaja berlarian ke sana dan ke mari menembus lautan hujan yang tengah mengguyur tanah kelahirannya.

Wajahnya tak ada ekspresi. Hanya ada garis tipis pada bibirnya karena tiba-tiba pikirannya mengajak ia untuk bernostalgia.

Setiap ada pertanyaan yang terkesan menyudutkannya, Eila tak ragu untuk membalas dengan cepat. Tak khawatir jika ia akan semakin dijauhi. Menurut Eila, ada atau pun tidaknya mereka, tidak akan memengaruhi kehidupan sehari-hari yang dia jalani.

Mengingat hal itu, Eila mencemooh di dalam hatinya. Lalu apa jika ia tak memiliki teman? Apa urusannya dengan mereka? Waktu mereka terlalu senggang.

Tak cukup bernostalgia, pikirannya kembali berkelana. Membuka satu per satu memori yang tersimpan rapi di dalam kepalanya. Kemudian, Eila memandang pekatnya awan gelap yang tak kunjung pergi.

"Gue tahu kalau gue goblok, tapi perasaan nggak goblok-goblok amat. Setidaknya gue rangking 10 dari bawah. Sebuah fakta kalau ada yang lebih ogeb dari gue. Tapi kenapa semua orang doyan banget nge-roasting gue?" Eila mengembuskan napasnya melalui mulut. Merasa lelah dengan semua pertanyaan yang mungkin mengakar kuat dalam pikirannya.

"Lagi ... gue punya mentor apaan? Omongan pedes gitu dijadiin mentor, tsk!" Eila menggerutu tatkala mengingat ucapan sang mentor.

"Lo nggak capek?" tanyanya.

"Apa?"

"Jadi orang bodoh."

"Be aja, tuh," jawab Eila.

Sang mentor kehabisan kata. "Tapi gue yang capek, lho, mana jadi mentor lo."

"Ya, udah, gampang. Tinggal berhenti. Selesai, kan?"

"Nggak gitu."

"Dih, emang dasarnya aneh lo." Eila memandang mentor itu dengan sinis.

"Terserah lo mau mandang gue kayak apa. Cuma sini gue bilangin, lo dengerin baik-baik! Minimal, ya, El, kalau lo emang orang yang nggak mampu, setidaknya lo jadi orang pintar. Mungkin bakalan berguna buat masa depan lo sendiri."

"Percuma kalau lo punya otak tapi nggak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Lo bakalan jadi orang yang terus 'ngikutin alur dan jalanin dulu'? Menurut gue mindset itu udah nggak guna banget!"

"Kapan lo bisa sukses kalau lo malas-malasan terus? Di saat yang lain lari secepat mungkin, tapi lo masih jalan di tempat? Bahkan terpaku?"

Eila terdiam, lalu ia menjawab, "Terus apa? Ini hidup gue, yang nanggung gue, gue nggak ngurusin orang lain. Selagi gue nyaman, kenapa nggak?"

"Ya, tahu, semua itu emang kehidupan nyaman lo. Tapi apa lo nggak mikir sedikit pun buat berubah? Kesuksesan itu nggak mudah, lho ... lo kira sukses itu datangnya tiba-tiba gitu? Kalau gitu gue minta lo buka lebar-lebar pikiran lo!"

"Dih, lo siapa gue?" Eila bertanya.

"Pacar lo." Eila terdiam, memandang bola mata Endranu yang juga sedang menatapnya. Jaraknya tidak terlalu dekat juga tidak terlalu jauh. Dengan cepat, Eila memutus kontak matanya dengan sang mentor.

"Dengerin lagi, kalau 'kegagalan' yang lo takutin, gue bakalan bilang lo itu udah bego banget pakai plus plus! Kalau pun iya suatu saat nanti lo ada di fase itu, setidaknya lo udah pernah nyoba. Kegagalan itu lo jadiin motivasi dan introspeksi diri buat ke depannya. Sampai sini, paham, Sayang?"

Eila terdiam. Antara memahami dan jemu dengan penjelasan Endranu. Saat suaranya kembali terdengar, Eila berjalan melewatinya begitu saja. Kemudian berkata dengan cepat, "Iya. Cepetan balik, udah sore, nih."

"Pulang sendiri dulu. Gue mau nganterin Airin."

"Lo mau nganterin si anak manja itu? Tumben?" tanya Eila heran.

"Kasihan, dia lagi sakit," jawab Endranu seraya menggaruk kepalanya yang mungkin saja tidak gatal.

"Terus lo nggak kasihan sama gue? Mendung ini."

"Ya ... sorry?"

Eila menghela napas. Dia Berjalan lebih jauh dan hampir mendekati gerbang sekolah, Eila bergumam, "Capek juga, ya, jadi manusia sabar."

°°°

Jangan lupa vote & comment.

ILUSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang