Bab 3 : Bersama

480 121 12
                                    

***

"Halo! Tetangga!"

Yemi tersentak begitu mendapati Liam yang berdiri di depan unitnya tepat saat ia membuka pintu. Apalagi saat ini tengah terjadi pemadaman listrik, jadi yang ia lihat adalah wajah Liam yang disinari oleh cahaya senter di ponselnya.

"Mati lampunya udah lama, ya? Capek gue naik tangga, punya minum, gak?" tanyanya tanpa ada rasa malu.

Memang apa salahnya pria ini langsung masuk ke unitnya sih? Kan mereka sebelahan!

"Tangan gue penuh, gabisa ngambil kunci!" Alibinya seolah menjawab pertanyaan dalam pikiran Yemi.

Tapi jika dilihat, memang kedua tangan Liam cukup sibuk. Sebelah tangan memegang ponsel sebagai sumber penerangan, sebelahnya lagi membawa tas laptop juga beberapa kantong kresek berbau nasi padang. Yah, Yemi jadi kelapara.

Sebenarnya tadi Yemi keluar hendak membeli lampu emergency baru karena miliknya tanpa sengaja tersenggol saat memasak tadi. Belum sempat masakannya jadi, sudah rusak lebih dulu. Yemi bisa saja pakai lilin untuk cahaya penerangan, tapi Aciel tidak suka cahaya remang-remang apalagi gelap.

Iya, Aciel punya trauma pada hal itu. Yemi pikir mungkin karena anak itu ditinggal ibunya di depan rumah mereka pada malam hari saat Ciel masih berusia beberapa minggu. Yah, dasar ibu tidak punya hati. Membuatnya dengan alasan saling cinta, namun setelah cintanya kandas hasil dari cinta itu dibuang juga agar tak menganggu cinta yang baru. Haaah, dasar hidup.

"Jadi, mau ngasih gue minum apa enggak?" suara Liam kembali menyentak Yemi.

Gadis itu mengangguk, kemudian hendak masuk namun ia lupa Ciel masih bergelayut pada kakinya. Akibatnya, Yemi hampir jatuh jika Liam tak menahan tangannya.

"Heh Ciel, ngapain lu di situ?" tanya Liam agak ngengass. Besar di negara barat sedikit membuatnya tidak bisa bergaul dengan anak seumuran Aciel dengan baik.

"Takut! Gelap!" katanya setengah bergetar, menyembunyikan wajahnya dalam kaki Yemi.

Liam hampir memanggil nama Yemi jika gadis itu tak menunjukkan tangannya yang masih setia berada pada pergelangan tangan Yemi. Segera, Liam melepasnya. Takut akan tatapan Yemi.

"Sebentar Ciel, Mama ambil minum dulu buat Om nya!"

Ciel menggeleng. Justru mengeratkan pelukannya.

"Gak pake lampu emergency?"

"Rusak, tadinya kami mau beli ke toko elektronik di bawah!"

Liam mengangguk, kemudian menatap jam di ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Seingatnya, ruko yang berada di bawah sejajar dengan bangunan apartemen ini tutup pukul 8 malam. Artinya, jika pun Yemi ke sana rasanya percuma. Yang ada Ciel malah semakin ketakutan karena gelap seisi gedung. Liam sendiri sedikit bingung, apartemen besar begini kok tidak pakai genset.

"Kayaknya udah tutup, udah malem juga! Besok Ciel harus sekolah, kalau lo gak keberatan, pake punya gue aja!"

"Eh? Gausah!" Tolak Yemi cepat. Ia tak ingin menanggung resiko debar jantungnya yang semakin menggila jika bersama Liam. Apalagi pria itu tengah memakai pakaian khas kantorannya. Sungguh suamiable sekali.

"Gak papa! Karena lo keberatan, gue paksa nih!"

Hampir, Yemi hampir menolak lagi. Namun suara perutnya menghianati otaknya. Mengganggu suasana hening mereka dan membawa tawa renyah bagi Liam. Ya ampun, Yemi malu sekali. Jika keadaan tak begini mungkin saat ini Liam dapat melihat wajah Yemi yang memerah.

"Kalian belum makan malam?"

"Mama baru pulang bantuin di klinik tante Kinan jam 7 tadi terus ketiduran dan baru bangun tadi waktu mati lampu. Kita punya lampu tapi gak sengaja kesenggol  Mama dan Ciel takut!" kata anak itu lancar dan tepat.

Why you?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang