prolog

6 4 4
                                    

Dua gadis itu, yang terjebak di antara beribu-ribu tetes air yang jatuh ke bumi, hanya bisa mengandalkan kedua tangan yang digosokkan, memberikan hangat yang tak bertahan lama sebab dingin jauh lebih cepat menggerogoti. Mungkin Tanessa pikir Clara beruntung karena perempuan itu memakai cardigan, namun tidak, cardigan tipis ini tidak cukup ampuh untuk mengusir dingin.

November dan hujannya.

Deras.

Jika dijabarkan, akan ada beribu-ribu cerita yang tersimpan dalam ruang kedap suara sang hujan kala ia berkunjung. Entah itu hanya sekedar cerita ringan seperti cerita Nessa dan Clara sekarang ini, kegalauan seorang pemuda yang ditinggal kekasihnya, modus-modus sang buaya darat dengan sang target, atau berbagai kejadian memilukan hati yang membekas tak kunjung pulih dalam sakitnya kehilangan sesuatu dalam  hidup mereka. Atau mungkin kejadian tak menyenangkan lainnya yang terkesan sepele namun sebenarnya tak bisa disepelakan. Contohnya, jemuran.

Serius, sedari air mulai rintik-rintik, yang Nessa pikirkan hanyalah nasib jemurannya. Tidak ada orang di rumah. Yang bisa ia harapkan hanyalah secercah kebaikan hati para tetangga.

Semoga.

Percakapan di antara kedua gadis ini sudah berakhir bermenit-menit lalu, kini atmosfer yang sempat menghangat dan meluapkan beberapa nada tawa diselimuti senyap, tidak ada yang mau memulai topik lagi, keduanya lebih memilih jatuh ke dalam lautan pikiran masing-masing dan tenggelam sejauh mungkin di dalamnya. Entah karena masalah yang dimiliki Clara tidaklah banyak, gadis bersurai hitam panjang itu kini merasa sudah sampai di dasar, dia menemukan titiknya, kebosanan, hal yang paling ia benci setelah deretan angka menyebalkan matematika.

Clara mengira-ngira, jika hujan tidak berkunjung, apa kira-kira yang sedang ia lakukan sekarang?

"Kalok enggak hujan lo mau ngapain, Nes?"

Alih-alih memikirkannya sendiri, Clara memilih untuk membaginya kepada sang teman, memulai kembali percakapan mereka dengan topik baru.

Nessa tanpa perlu membuka agenda hariannya menjawab, "kerja."

"Habis itu?"

"Kerja lagi."

"Terus?"

"Pulang."

Seharusnya, Clara tidak menanyakan itu, sebab ia tahu persis bagaimana kegiatan sehari-hari Nessa. Yang barusan anggap saja basa-basi (walau tidak memiliki inti setelahnya) guna mengusir rasa bosan.

Terjebak di depan kelas XII IPA 1 — kelas yang paling dekat dengan pagar, membuat keduanya mengerti bagaimana tidak nyamannya menunggu.

"Kalau lo?" tanya Nessa balik kepada Clara.

Clara terdiam sesaat, tiba-tiba diterpa bingung, matanya mengelilingi sekitar seolah ada jawaban yang terselip di sana.

"Paling... rebahan? Soalnya ini hari Jumat, gue gak les."

"Oh, enak ya?"

"Enggak jugaaa," Clara mendengus, "bosen tau kalau gak ngapa-ngapain."

"Kenapa gak belajar aja?"

"Gamau ah, capek."

"Kerja lebih capek."

"Tapi 'kan cuma capek badan, bukan capek otak. Gue lebih mending capek di badan lah dari pada capek di otak."

Kini giliran Nessa yang mendengus. "Lebih berat capek batin gak sih?"

Takdir rupanya tidak mengizinkan Clara untuk menjawab walaupun sudah ada beberapa deret kalimat yang siap keluar dari mulutnya, sebab tepat setelah itu, dari arah barat muncul dua orang laki-laki dengan sepeda motornya masing-masing, lengkap dengan helm dan jas hujan, menghampiri mereka.

Mahesa & CinderellanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang