PROLOGUE

17 2 0
                                    


Aileen mendengus berat kala interupsinya tidak diterima oleh hakim. Ia menatap tajam sosok pria bernama Bara yang tengah menatapnya sambil tersenyum miring. Sebagai mahasiswa hukum semester lima, Aileen mengaku sudah sangat muak dengan ini semua.

Sejak awal semester tiga, Aileen sudah merasa jika dirinya salah jurusan. Ini karena Hukum bukan merupakan jurusan impiannya, ia ingin masuk kedokteran tapi diprotes habis-habisan sama keluarganya karena menganggap otak Aileen tidak mampu dan tidak cocok dengan jurusan itu. Karena kesal, ia pun belok setir ke Hukum. Walau pun terpaut cukup jauh antara Kedokteran dengan Hukum, tapi Aileen memang harus memilih jalan ini agar tidak dicaci-maki oleh keluarganya lagi.

Dan sekarang, berkat pilihannya itu ia pun sering kali merasa salah setiap kali mengikuti kegiatan atau kelas yang ada di jurusan ini. Seperti sekarang, saat dirinya mendapat bagian mengambil posisi sebagai jaksa penyidik di kelas praktikum Pak Seno, terduga yang seharusnya bersalah harus memenangkan pengadilan. Ini semua karena ulah si Bara itu yang menjadi advokatnya.

Cowok itu pandai sekali bicara, pernyataannya selalu menjerat bagi siapa pun yang membantahnya malah akan terlihat bodoh dan polos. Apalagi jika harus disandingkan dengan Aileena Grasselyn, si cewek introvert yang sampai semester lima ini, belum juga tahu bagaimana caranya bisa memenangkan debat.

Suara palu diketuk terdengar, dan pernyataan Hakim yang memutuskan untuk terduga bebas dari tuntutan menutup praktikum pagi itu.

Aileen langsung meraih botol minum yang berada di meja lalu meneguknya sekilas. Ia melirik Bara yang datang menghampiri sambil tertawa kecil.

“Gimana? keren 'kan, gue?” tanya Bara sambil memainkan alisnya.

Aileen langsung melirik sinis, “Apanya yang keren? Kasus ini kalau beneran ada di dunia nyata, semua orang bakal protes gak terima karena terdakwa bebas dari tuntutan. Dan hukum Indonesia bakal jelek lagi di mata masyarakat,”

Bara mendekatkan wajahnya ke Aileen yang reflek menjauh, “Iya.... kalau lo yang jadi jaksanya.”

Seusai berucap, suara tawa dari beberapa orang terdengar. Aileen spontan bermuka masam lalu memilih keluar dari ruangan itu dengan perasaan kesal. Ia benar-benar jengkel. Kenapa sih segala sesuatu yang Aileen mau selalu sulit dia dapatkan? kenapa setiap ia dihadapkan dengan situasi yang ia rasa mampu untuk ia selesaikan selalu saja ada halangan yang menggagalkan semuanya?

Sekali saja, Aileen ingin melakukan sesuatu yang bisa membuatnya merasa berguna. Entah untuk diri sendiri mau pun orang di sekitarnya. Ia ingin orang atau sesuatu yang mendapat bantuannya bisa merasa terbantu, bukan malah merasa dirugikan.

Aileen bisa menerima. Jika memang takdirnya sudah seperti ini, seharusnya ia bisa mengambil langkah dengan bersikap bodo amat dan tidak mau ambil pusing dengan lingkungan sekitar. Ia bisa untuk tidak mau membantu dan peduli dengan orang lain, ia bisa mengabaikan segala hal yang bukan urusannya. Tapi, lagi dan lagi... kenapa ia tidak bisa? kenapa hatinya selalu tergerak untuk peduli terhadap sekitarnya?

Entahlah. Mungkin ini sudah saatnya ia membeli, membaca dan mempraktekkan apa yang tertulis dalam buku “Sebuah Seni untuk bersikap bodo amat” karya Mark Manson. Aileen memang harus membacanya nanti.

“AIIII! ih, Aileen!!”

Aileen sontak menghentikan langkahnya. Ia berbalik, mendapati cewek bertubuh mungil tengah berlari menghampirinya.

“Huft... lo cepat banget, hah, jalannya!”

Aileen terkekeh kecil. “Kenapa, Va?”

Cewek bernama Chava itu memamerkan senyum cerah. “Temenin gue belanja bulanan, ya?”

AILEEN IN NEoLAND Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang