ei

1 0 0
                                    

Terik matahari menyengat kulitnya tanpa ampun. Menghasilkan cucuran keringat yang lolos melewati pelipis, mengalir ke wajah sampai leher sebelum hilang diserap kerah seragam. Rambut hitam bergelombangnya sudah lepek dan bau matahari, padahal baru keramas tadi pagi.

"Huhhh..." embusan napasnya sarat putus asa dan ingin menyerah. Namun, sepasang tangannya terus bekerja memilah sampah dan memasukkannya ke kantong plastik hitam. Lelah sekali. Panas. Dan haus tentu saja.

Sial sekali nasibnya. Hanya ia sendiri yang tidak mengerjakan pekerjaan rumah pelajaran bahasa Inggris. Inilah akibatnya, dihukum membersihkan pekarangan sekolah. Memungut sampah yang diselundupkan siswa saat jam istirahat ntah itu di bawah pot bunga atau dibalik rimbunnya dedaunan tanaman yang subur di area sekolah.

Ingin mengeluh protes dan kabur; apalagi tidak ada guru yang mengawasi. Namun, remaja 15 tahun itu memilih menjalankan hukuman sejujur-jujurnya. Biar aku kapok dan mengerjakan tugas lebih rajin. Tidak masalah mencontek atau mengerjakannya saat tiba di sekolah, asalkan tugasnya selesai. Itulah hikmah yang ia dapat dari hukuman kali ini.

Remaja itu menatap matahari yang berkuasa di atas sana. Sangat terik dan menantang. Hatchi!

"Argh, matahari sangat— hatchi!"

"... menyebalkan."

"Haechan!!"

Kepalanya kontan menoleh pada seorang siswi yang menghampirinya dengan sumringah. Garis senyumnya tidak pudar bahkan setelah sampai tepat di depan Haechan. Penampilannya makin manis dengan pita merah muda yang disematkan di sela-sela rambut hitamnya.

"Kamu seperti bahagia di atas penderitaanku."

Siswi itu tertawa pelan. Menertawai penderitaan Haechan yang ia saksikan sejak tadi dari jendela kelasnya. "Salahmu yang tidak mengerjakan tugas."

Bukan pemandangan aneh sebenarnya jika Haechan menjadi salah satu siswa yang memilah sampah sebagai hukuman. Itu menjadi hal lumrah sekali dalam seminggu.

"Untuk apa ke mari? Kelasmu kosong?" Pergelangan tangan si perempuan ditarik Haechan ke pinggir lapangan. Berteduh di sebuah bangku besi yang dinaungi pohon rindang.

"Tidak, aku izin pada guru yang mengajar," jawabnya sambil melirik kelasnya yang terlihat dari sini. Namun, posisi mereka saat ini tidak akan terlihat dari kelas karena tertutupi tanaman lainnya yang cukup tinggi.

"Oh iya..." sekaleng soda yang sedari tadi digenggam diberikan pada Haechan. "Kau pasti kehausan. Minumlah, stok terakhir yang ada di kantin."

Haechan menerima dengan senang hati. Sekarang kerongkongannya segar; bukan lagi seperti gurun sahara yang kering kerontang. "Ahhh... segarnya. Terima kasih."

"No need to thanks. Aku harus kembali ke kelas." Siswi itu beranjak, ia menatap Haechan sebentar sebelum berlalu meninggalkannya dengan seulas senyum seteduh pepohonan ini.

"AKU TUNGGU DI GERBANG!"

Acungan jempol diberikan si siswi tanpa berbalik. Haechan terus mengamatinya sampai luput dari pandangan. Dan selama itu pula senyum remaja itu tidak luntur sedikit pun. Kekasihnya manis sekali, apalagi saat mengenakan jepit rambut darinya. Argh, kehadiran kekasihnya beberapa saat lalu memberi angin segar pada Haechan. Semangatnya kembali terkumpul untuk menyelesaikan hukuman ini setengah jam ke depan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 06, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Eastside; Dear HaechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang