12

670 147 21
                                    

Veeno duduk terdium, menatap kopi di cangkir. Sedang diam-diam Veeno melirik ke arah cincin yang tersemat dijemari lelaki didepannya. Ada rasa ngilu dibenak Veeno yang amat sulit dia jabarkan. Veeno tutup matanya sesaat, hendak bersuara. Tapi sosok di seberang meja itu lebih dulu buka suara.

"Gue sama Anne bakal nikah," James berujar. Singkat, padat, jelas. Namun sukses menghancurkan perasaannya Veeno. Terlihat bagaimana lelaki itu berkaca-kaca, mendongak menahan air mata.

Kepala Veeno menunduk, "Gue tahu, tapi boleh gue tanya satu hal?" Lirih Veeno diangguki James.

"Kenapa lo selalu ada ditiap momen hubungan gue sama Anne dulu? Apa sebenarnya yang buat lo bertahan di sisi wanita yang lo suka. Padal diri lo dihadapkan pada fakta jika ada gue."

Sungguh, Veeno ingin tahu.

Veeno tidak bodoh dalam menyadari jika seorang James Arkayaksa punya perasaan lebih pada sahabatnya dan entah sejak kapan, tetapi pasti jauh lebih dulu sebelum Veeno mengenal Anne. "Apa lo sadar bahwa lo adalah orang ketiga dalam hubungan antar gue dan Anne?" Veeno tahan isakan tangis.

Sementara itu, James menatap lurus ke depan. "Lo orang ketiganya Veen, setiap orang punya kisahnya masing masing. Dan bagi gue, lo orang yang lancang masuk dalam persahabatan gue dan Anne."

"When we were children, we both made a promise that in the future we're going to marry. Di bawah rumah pohon gue sama dia, kami buat ukiran, Anne and James will always be together, whenever and wherever we are. I used to believe that someday it'll come true. Anne and I maybe can build a home. Tapi, lo dateng disaat gue mulai memiliki keberanian soal perasaan gue."

"Silly but really, gue merasa belasan tahun eksistensinya gue menghilang dari radar hanya oleh seorang lelaki yang baru satu bulan deketin Anne."

Tanpa sadar tangan Veeno terkepal. Dia menahan nafasnya. "Dia enggak cinta ke lo." Ketus Veeno dikala dia mulai tidak terima dianggap sebagai orang ketiga. "Harusnya lo yang dulu bisa sadar diri, lo jelas tahu dia ada gue. Tapi lo seakan-akan nggak lihat keberadaan gue."

Sudut bibir James terangkat ke atas. Dia mengangguk. "Gue nggak akan pernah pergi dari hidup Anne kalau bukan dia sendiri yang minta. Veen, I have been waiting for long to make sure you'll lose. Lo udah banyak buat Anne menderita."

James berdiri, menatap Veeno sulit diartikan. "Gue harap lo dateng Vee nanti. Gue ngundang lo pribadi." Dia mulai ambil langkah menjauh.

Tangis Veeno meluah, dia menunduk meloloskan air mata. "Sena," Teriak Veeno membuat James berhentikan langkah. "Apakah lo bakal larang gue buat ketemu Sena lepas lo nikahin Anne?"

Menoleh, James menggeleng. "Gue bukan orang jahat yang tega lakuin itu. We'll always welcome to you if you want to meet your child." Kata James kembali melangkah menjauh.

××|××

Langkah kaki Veeno terasa berat— melangkah masuk ke lift apartemen. Dia menyandarkan kepala di dinding memejamkan netra sesaat. Apakah setelah ini semuanya akan membaik atau perasaannya lebih carut marut? Apakah dia benar-benar bisa ikhlas melihat Anne dengan lelaki lain? Dia tidak mengerti. Buntu. Sakit. Semua melebur menghancurkan hati serta menekan pikirannya.

Ting

Pintu lift terbuka, Veeno mendesah pelan. Dia melangkah keluar, sontak berbelok guna mencapai unit milik dirinya. Namun, langkahnya Veeno  terhenti saat melihat Anne dan Sena berdiri di depan pintu.

Tangan kanan anaknya masih digips, tangan kiri digandeng Anne.

"Sena," lirih Veeno.

Sena menoleh, "Papa! Papa! Sena kangen papa. Makanya minta mama ke sini nganter Sena ketemu papa. Mama bawain makanan lo pah, hehe soalnya Sena belum makan. Makan bareng yuk pa."

Menarik-narik sang papa. Sena total memohon membuat Veeno akhirnya menurut, mempersilahkan Anne dan Sena masuk ke dalam apartemennya lelaki itu. Sayangnya, langkah Anne terhenti di ambang pintu saat netra memandang lurus ke depan, ke arah foto pernikahan mereka dulu, yang terpampang begitu besar di dinding ruangan. Anne belum pernah datang ke apartemen Veeno, dan ini adalah kali pertamanya dia melihat itu. Tak terkecuali Sena yang melongo amat kagum, berjalan mendongak seraya melihat foto itu.

"Itu papa sama mama? Wah, kenapa papa nggak bawa Sena ke sini sedari lama? Kalian bahagia banget di sana, tahu." Sena menunjuk foto itu, toleh kepala pada papa dan mama.

Anne mundur ke belakang, "Sayang, kayaknya mama tidak gak ikut kalian makan bersama. Mama harus pergi ke butik tante Dinda." Dia menahan diri sekala merasa desiran mencekik mengerubungi kepalanya. Anne tak lama berbalik, tetapi tangan wanita itu ditahan Veeno.

"Sebentar aja? Makan bareng, kita bertiga. Kapan lagi? Please, Anne." Mohon Veeno.

Menoleh, menyelipkan surai, Anne berkata, "Veen," Tetapi pandangan tertuju pada Sena yang menantikan jawaban mamanya itu. Anne kontan mengangguk ragu. Memutar haluan lagi, melangkah masuk. Menuju ke dapur lekas menyiapkan peralatan makan ke meja makan. Dia meminta kotak bekal yang dibawakan masuk oleh Veeno—  membuka setelahnya. Mengeluarkan semua isinya sambil mengulum bibir menahan sakit.

"Sena, ayo sini kita makan." Tangan terulur melambai pada Sena tak lupa meminta Veeno ikut bergabung.

Anne berikan piring , mengambilkan nasi untuk keduanya. "Ini dek, tumis sayur kesukaan Sena sama filet tuna kesukaan papa. Kalian berdua suka makanan yang sama." Tersenyum ke arah Veeno yang hanya menatapnya sendu.

"Wih! Enaknya." Sena memuji. "Papa, enak nggak?"

Sekala Veeno mengunyah makanan itu, dia mengangguk. "Enak, banget. Sena makan yang banyak ya?" Titah Veeno diangguki Sena.

Mereka melanjutkan makan. Lantas dilanjut menemani Sena yang bilang lelah ingin tidur siang tetapi manja minta dinyanyikan papa dan mama.

Veeno mengambil gitarnya, sedang Anne menyanyi. Sampai beberapa saat kemudian Sena mulai terlelap.

Sementara Anne berdiri sebab Anne merasa seperti deja vu.  Mengingat saat-saat Veeno sering menyanyikan lagu pengantar tidur itu dulu sekala mereka masih menjadi suami istri.

Langkah Anne dibawa ke luar kamar dan berlari ke kamar mandi. Veeno melihat kepergian wanita itu dengan sendu. Segera mungkin Veeno susul Anne.

Veeno melangkahkan kakinya lebar, dia menahan tangan Anne sebelum masuk kamar mandi. "Anne, tolong maaf. Aku janji besok bakal turunin fotonya."

"Kamu kenapa Veen, enggak, aku itu cuma." Anne memijat pelipis. "Maaf aku. Aku nggak tahu—

Cup... Satu kecupan mendarat tepat di atas labium Anne. Membuat sang empu membeku. Dia tatap lelaki itu keheranan.

"Can I kiss you, like I always do? Ne, I do love you Ne, every second, every minute, even every universe." Veeno mengangkat tangan meraba pipinya Anne. 

Anne menunduk, membiarkan bulir air mata merembas lagi dan lagi. Dia sepersekon memejamkan mata saat Veeno mempertemukan lagi bibir itu lebih dalam dan menuntut dari dua belah pihak; seakan mencurahkan rindu yang begitu menyakitkan.

Suasana hening itu menghanyutkan keduanya. Suara decapan decapan, saliva yang bertemu. Kedua tangan Anne melingkar di leher Veeno dan pinggang rampingnya direngkuh si pria.

Huh...Huh, jeda nafas terjadi, Veeno dan Anne menatap penuh lara. Lalu kembali mempertemukan labium itu dalam sensasi lebih menuntut.

Veeno menggunakan kakinya untuk menendang pintu kamar mandi dan dengan posisi masih berciuman, dua atma itu membawa langkah masuk ke dalam.

Bruk. Pintu di tutup keras. Dan yang terjadi biarlah terjadi. Sebab hari itu, mereka melampiaskan rasa sakitnya tanpa bisa dibendung.

Di balik pintu kamar mandi tersebut, hanya rintihan dan desau sepasang manusia yang terdengar saling rindu satu sama lain, diselimuti oleh peluh peluh deras dari dua epidermis yang bersentuhan tanpa sekat kain.[]





Paradigma[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang