“Sepanjang hidupku ada 2 pelajaran yang paling sulit aku mengerti, yang satu adalah Fisika dan yang satunya lagi adalah temannya…Matematika. Selama ini aku selalu beruntung dalam Matematika, tapi sepertinya kali ini keberuntunganku sudah habis.”
***
“Oke, sekarang Ibu akan membagikan hasil latihan UAN kalian minggu lalu ya.”
Kalimat yang diucapkan Bu Tini terdengar biasa saja buatku. Sebagai anak kelas 3 SMA yang sudah memasuki semester 2, sudah berkali-kali aku mengikuti latihan UAN jadi aku sudah kebal dengan pengumuman seperti ini. Mau nilai bagus atau jelek, toh ini cuma sebatas latihan. ‘Pertempuran’ yang sesungguhnya masih lama, aku masih punya waktu beberapa bulan lagi untuk mempersiapkan amunisi.
Ada sedikit rasa kecewa dalam diriku ketika melihat daftar nilai, sebisa mungkin aku menutupinya karena tak mau terlihat lemah dan menyedihkan di depan teman-temanku. Seperti biasa, nilai matematikaku jeblok. Tapi kali ini lebih jeblok dari biasanya. Dari standar kelulusan 5,00 aku cuma bisa mendapat 4,75, kurang 0,25 lagi. Nilaiku ini adalah yang paling rendah sekelas dan menurun dari nilaiku sebelumnya, 5,25. Aku cuma bisa menghela napas dalam hati, ingin rasanya sedih tapi aku tak boleh sedih. Aku kan sudah bilang pada diriku sendiri kalau ini cuma latihan dan aku berjanji akan bersungguh-sungguh jika sudah tiba nanti tiba, nggak mungkin dong aku menyesalinya? Aku ini kan orang yang pantang menyesali apa yang sudah aku lakukan.
Oke, oke…sebaiknya ’kejelekan’ hari ini dilampiaskan dengan jalan-jalan saja supaya pikiran agak rileks. Yippieee! Aku suka jalan-jalan!
“Kamu mau ikut ke mall?” tanya teman sebangkuku yang namanya Nina.
“Boleh deh. Nanti biar aku pulangnya bareng ayahku aja.”
Hari itu kebetulan ada pertemuan orang tua siswa kelas XII. Aku berencana pergi ke mall selama ayahku ikut rapat, terus nanti setelah selesai nge-mall aku balik lagi ke sekolah dan pulang bareng ayah deh. Ya maklum lah, aku kan ke sekolah selalu diantar jemput. Jadi kalau nggak pulang bareng ayah, ya naik bis.
***
Aku bukan anak orang kaya, jadi tiap kali main ke mall paling pol cuma beli es krim aja. Selebihnya keliling mall buat cuci mata, menikmati pemandangan indah dari barang-barang yang dipajang di etalasenya, berandai-andai seandainya aku bisa memiliki barang-barang itu. Ya, begitulah aku…pemimpi. Aku tak pernah keberatan dengan diriku yang seperti ini, malah aku menikmatinya. Justru dengan sikap seperti ini aku selalu punya pengharapan untuk bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
“Eh, udah hampir jam 3 nih.” kata-kata Nina menyadarkanku untuk segera kembali ke sekolah.
Tak lama kemudian aku dan Nina sudah keluar dari mall dan berdiri di bahu jalan menunggu bis. Cuma aku sih yang nunggu bis, Nina enggak. Rumahnya kan dekat, cuma jalan 10 menit juga udah sampai ke rumah.
Aku tak tahu kapan rapat wali murid selesai, semoga ketika aku sampai di sana belum selesai. Karena kalau tidak, aku harus pulang naik bis. Oh, no! Soalnya aku belum memberi kabar ke ayahku kalau aku sebenarnya lagi main sama temen dan mau pulang bareng.
Jarum jam menunjukkan 02.40 dan bis yang aku tunggu belum juga nampak. Sebenarnya jarak mall dengan sekolahku tidak begitu jauh, mungkin hanya 15 menit kalau menggunakan kendaraan pribadi. Tapi berhubung yang mau aku naiki ini adalah kendaraan umum bisa menghabiskan waktu 30 menit, minimal.
“Thank’s God…akhirnya kendaraan itu muncul juga.” Aku sempat melambaikan tangan terlebih dulu ke arah Nina sebelum bis itu melaju. Aku sama sekali tak punya firasat apapun pada apa yang akan aku hadapi sebentar lagi.
***
Kulangkahkan kakiku memasuki pelataran sekolah yang sudah sepi. Benar-benar sepi, hanya terlihat beberapa anak di bawah gazebo. Sepertinya mereka juga sedang menunggu orang tua mereka. Hhffttt…syukurlah, ayahku ternyata belum pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ini Bukan Drama
Teen Fiction“Ini Bukan Drama” adalah kumpulan cerpen tentang pengalaman hidup yang senang, sedih, traumatis dan horor. Beberapa dari kita mungkin ada yang pernah mengalaminya, ada juga yang belum. Well, enjoy it Wattpad-ers!